Senin, 04 Maret 2013

Menjelma aku


Lagi seneng niccc kemaren abis nonton jjf yg ke 5 kali dan menetapkan bahwa the quality of jazz bener-bener baru gue dapetin ya pas kemaren itu *cie* 
Cerpen ini lahir dari keinginan gue ikut suatu lomba. bukannya malah ngirimin naskah, gue malah ngerampungin ini tanpa jadi gue kirimin-_____- (lagi lagi hahaha) abisnya sebenernya gue itu gabisa kalo nulis pake ditentuin tema, panjang halaman dll. sorry sebelumnya kalo ada kata-kata yang ga kalian ngerti, itu gitu aja muncul dari keabsurd-an fikiran gue~  oke enjoy yaaaa jangan lupa komenin. makasih buanyak!:*

Menjelma  Aku.

       Setiap anak perempuan pasti  ingin hidupnya sesempurna para tokoh dalam dongeng. Aku khatam semua cerita dongeng.  Karangan Hans Christian Andersen, Brothers Grimm, Charles Perrault, Elfin valley, Carlo Lorenzini  hampir semua buku dongeng sudah kulahap habis sewaktu kecil. Kebanyakan ceritanya dibuat untuk menciptakan gambaran masa depan palsu yang aku tau sulit untuk terwujud. Keinginanku sendiri sewaktu kecil tidaklah muluk. Aku hanya ingin jadi aku.

Aku dibesarkan dalam keluarga yang  menyebut diri mereka kaum oksidentalisme, yang sangat mengedepankan watak dan budaya barat.  Orang-orang modern yang menganggap globalisme adalah suatu berkah illahi bukan cambuk ancaman untuk bangsa. Karna itulah aku tumbuh menjadi manusia tanpa historical culture. Entah dalam darahku mengalir suku atau adat apa, ayah ibu ku membesarkan aku dan kedua saudaraku jauh  tanpa bisa mengenal identitas negeri sendiri.

Sebisa mungkin orang tuaku membentuk aku menjadi sosok yang mereka inginkan.  Aku pun manut-manut saja. Sedari kecil disekolahkan di sekolah international yang punya keterbatasan teman. Karena kebanyakan yang bersekolah disana ialah anak-anak orang kaya yang sibuk ikut les ini-itu. Sama seperti mereka, aku pun juga begitu. Les renang, aritmatika, bahasa asing, piano klasik, semua yang menunjangku untuk jadi pribadi berkelas international.

Kadang aku iri melihat teman sebayaku diluar rumah yang sedang asyik bermain gundu, gangsing atau ular tangga. Bahkan untuk sekedar ikut lomba 17 agustus yang setahun sekali diadakan kalangan tetangga komplek pun aku tak bisa. Aku terlalu disibukkan dengan kegiatan yang bertubi-tubi dijejalkan oleh orangtuaku. 

Kadang aku merasa seperti sulit bernafas. Tak bisa aku meraih oksigen. Hanya karbon dioksida yang aku dapatkan. Dan aku harus tetap hidup dengan itu. Dari waktu ke waktu aku hanya menutup mata dengan lingkungan yang aku tinggali. Seperti seorang penjudi ulung, aku menaruh kepercayaan besar bahwa aku akan berakhir bahagia dengan dunia yang orang tuaku sedang berusaha ciptakan. Lama kelamaan aku nyaman dengan itu.

          Selepas aku lulus sekolah menengah, aku langsung dikirim ke University of California, San diego untuk meneruskan studi-ku. Mengambil jurusan finance persis seperti yang mereka inginkan. Tidak sulit untuk aku bisa beradaptasi disana, karna aku memang dibentuk untuk menjadi produk luar. Lewat kecemerlangan otakku, aku berhasil lulus lebih cepat dari seharusnya. Disaat itu seharusnya aku bangga dan senang bukan kepalang, tapi hal itu lenyap ketika lagi-lagi tangan kedua orangtuaku ikut campur dalam kehidupanku, seakan akan mereka sedang sibuk meramu dan menambahkan bumbu ini-itu yang dirasanya pas.

“na, mama sama papa sudah menemukan lelaki paling sempurna untuk kamu. Setelah wisuda kamu harus cepat pulang ke Indonesia kami sudah menentukan tanggalnya”

Tanpa ada sebutir pertanyaan pun dilontarkan untukku, ia mengisyaratkan diamku sebagai suatu persetujuan walau nyatanya jelas ini kemauan sepihak. Aku tidak pernah bilang iya, namun aku juga tidak membantah.
Lelaki yang didaulat menjadi pendampingku ialah anak dari seorang pengusaha kaya, kalangan jetset, rekanan bisnis ayahku sendiri. Namanya rayhan, pemuda tampan beralis tebal, punya tulang rahang yang kuat dan badan berkotak kotak mirip seorang atlet laga. Disebut-sebut sebagai eksekutif muda berintelegensi tinggi yang juga sarjana luar negeri. Perempuan mana yang tidak berebut bahkan saling tusuk untuk bisa mendapatkannya. Karena itu orang-orang diluar sana bilang akulah si perempuan paling beruntung sejagat raya.

Tapi ternyata salah, mereka tau apa tentang jagat raya kalau masih menilai barang dari labelnya bukan dari manfaatnya. Aku hanya bisa bertahan dengan ray tak kurang dari 10 bulan. Bukan karena tidak dinafkahi lahir ataupun batin. Aku sudah cukup kenyang dengan penghasilanku sendiri sebagai seorang financial analyst suatu perusahaan minyak. Dan jangan tanya tentang nafkah batin, batinku sudah tersakiti sebelum ia mampu memberikannya padaku. 

Tadinya aku pikir, cinta akan hadir bersamaan dengan waktu. Tetapi ketika aku berfikir lagi, cinta model apa yang membiarkan aku hampir tiap hari menunggui nya pulang lewat tengah malam dengan bau alcohol menyelimuti sekujur tubuhnya, dengan kesadaran yang entah hilang kemana hingga mampu menghadiahiku tamparan, tendangan bahkan sabetan gesper. Kemudian setelah mendapatiku pasrah dengan tenaga yang hampir habis untuk melawan, dengan enaknya dia melucuti pakaianku untuk kemudian menyetubuhiku. Sungguh bejat. Rupanya kehidupannya sebagai socialita kelas atas, sekejap telah membuatnya melupakan adab.

Dan disaat ketahananku sudah mencapai limit, aku sudahi semuanya walaupun banyak suara diluar sana yang menentangku. Orangtuaku kecewa. Sekaligus menyesal telah memasukan aku ke sangkar buaya. Mereka mungkin heran, karena selama ini mereka telah berhasil dengan kehidupan kedua saudaraku yang juga sudah mereka atur dari a sampai z. Tetapi di akhir membesarkan anak-anaknya hanya aku yang gagal. Mereka memberikan penghiburan dengan berkata

“Perceraian itu alamiah dan hal yang sangat biasa. Relationship are messy and everybody get hurt sometimes. You still young and you have to move on, go find another one. Mungkin kamu harus berlibur keluar? bertemu dengan orang-orang baru yang sekelas denganmu ”

          Sebenarnya aku tidak sulit untuk move on, malah aku senang telah terbebas dari rey. Aku menyetujui saran orang tuaku dan menggunakan libur kerja akhir tahun untuk kembali ke California, aku bertemu lagi dengan mark. Mark adalah teman sekaligus lelaki yang pernah aku kencani ketika aku berkuliah dulu. Ia sangat jenaka, dan salah satu yang paling hebat saat bercinta. Kami pun sepakat untuk menjalin hubungan. Keluargaku sangat men-support hubunganku dengan mark. Tentu karena dia produk international lagipula seorang kolektor seni, sangat berkelas dan cocok dengan kemauan orangtuaku. Aku tau kali ini mungkin aku menemukan orang yang bisa aku cintai, setelah beberapa waktu berpacaran aku pun mengajaknya untuk melanjutkan ke pelaminan. Tadinya ia menolak, tapi aku bilang aku ingin suatu pernikahan yang sah, karena aku butuh status dan kepastian . Kemudian ia setuju, bahkan ia mau meninggalkan kampung halamannya demi hidup bersamaku.

“I want you. And I want a chance to change my world”  lugasnya saat kami memutuskan untuk tinggal di Indonesia saja.

3 tahun dengan mark, kehidupan pernikahanku cukup bahagia. Bahkan sangat bahagia. Siang hari kami habiskan untuk bekerja dengan pekerjaan masing-masing, malamnya kami habiskan hanya berdua dirundung cinta yang tiada henti.

Sampai pada suatu sore, aku pulang kerja agak dini karena sedang tidak enak badan dan mendapati beberapa ruangan di apartemenku tampak berantakan. Ketika aku sampai pada muka pintu kamar utama, aku mendengar suara-suara tak lazim bercampur percikan air dari kamar mandi. Begitu aku membuka pintu kamar, aku melihat mark dengan mata kepalaku sendiri sedang melakukan hubungan sex bersama seorang pria yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Seketika itu rasanya air mata dan teriakanku seakan telah membanjiri seisi ruangan.

Aku shock. Bertubi tubi rasanya jantung ini dilempari batu kerikil tajam, hingga sakitnya bisa melumpuhkan seluruh otot-ototku. Mark melakukan defense dan melontarkan berbagai pembelaan sebelum akhirnya mengaku bahwa selama ini ternyata ia adalah seorang bi-seksual. Ia bilang, ia mulai keranjingan hal itu semenjak ia kerap mendatangi ajang pesta seks lawan jenis maupun sejenis sewaktu kuliah dulu. Dia juga meyakini bahwa bukan hanya dia yang punya kecacatan orientasi seksual, di barat lusinan orang mengidapnya dan itu bukan suatu hal yang harus dipersalahkan. Ketika aku menguatkan diriku untuk bertanya

“Kenapa kamu tidak pernah beritahu kepadaku?kenapa harus setelah kita berjalan selama ini”

Ia hanya menjawab santai  “you always knew, I never wanted this marriage. It just because I want you to be happy”

Baiklah ini lebih parah dari kandang buaya. Ternyata aku sudah membeli ular dalam karung yang selama ini aku pelihara dan aku ciumi tiap hari, lalu tau-tau ketika karung tersebut robek, ular itu lantas menggigitku dengan taringnya yang penuh bisa.  

        Diumur semuda ini untuk kedua kalinya aku pun mengakhiri pernikahanku. Setelah perceraian bukannya merasa senang tapi mentalku malah jatuh, hatiku masih dipenuhi sayatan, lukanya hanya berkurang sekitar seper-duaratus persen saja, sisanya masih belum mengoreng. Kali ini aku merasa sudah benar-benar tamat dalam hal kebahagiaan. Bukan tamat yang khusnul khotimah, tapi tau-tau berhenti dan mati. Dunia ku sudah kiamat, sangsakala sudah ditiupkan, lalu aku bisa apa selain menangisinya. Untuk hal itu aku menanggung duka setiap hari, jam, sekon, milisekon hingga satuan terkecil penghitung waktu. Kali ini tak ada yang bisa memberikanku penghiburan.
 Aku hanya ingin meninggalkan semuanya dibelakangku dan enggan menoleh bahkan melirik sekalipun. Aku hanya ingin menjejak tanah karena aku lelah terus melayang-layang tak tentu arah. Aku hanya ingin tahu apa yang bisa kumiliki tanpa harus lagi-lagi mencari. Ingin aku tahu, masihkah ada nilai atau norma atau hati yang masih tak ternoda oleh nila? Dalam hati aku terus menyumpahi semua peradaban barat tak bermoral yang mampir dan lewat dalam hidupku. Tentang pengaruhnya yang sedari kecil tak pernah aku ridhoi masuk ke dalam otakku, tapi lambat laun menginfeksi hampir semua aspek kehidupanku.

             Aku memutuskan untuk pergi menjauh dari Jakarta tapi tidak juga ke luar negeri, tak mau aku terjerat lagi dengan kepalsuan manis gula. Karna sadar atau tidak, manisnya gula memang tak bisa ditakar tapi siapa yang sadar bahwa manisnya menyimpan berjuta racun yang menamai dirinya diabetes. Aku membuang sim card dan menghapus segala isi yang ada di handphone ku, tak ingin dilacak siapapun. Hanya membawa koper berisi barang-barang pribadi, surat-surat, kamera dan uang sebanyak banyaknya kemudian melangkahkan kakiku ke bandara, tiba disana secara random aku memilih Bali dan membeli tiket go show untuk langsung terbang kesana. Entahlah waktu itu aku sedang limbung. Pikirku, mungkin pergi melihat pulau yang dibangga-banggakan orang sebagai jantung hati dari negeriku sendiri bisa melegakan dahagaku.

Saat dipesawat, aku duduk diam mematung memandangi gumpalan awan hitam yang berarak tanpa singgah atau mampir disuatu tempat. Aku jadi teringat tentang mendung yang masih menyelimuti hati dan jiwaku. Lagi lagi aku kembali murung, dikepalaku ada sederet rentetan sesal yang siap untuk dihindangkan kembali, tanpa sadar setetes atau duatetes air di pelupuk mataku sudah melewati jalurnya tanpa bisa dibendung lagi, kemudian tiba-tiba orang yang kebetulan duduk disebelahku berkata...

Langit selalu menyimpan petir dan kelabu sebelum melampiaskannya kepada hujan, itu natural. Dia hanya perlu sedikit matahari untuk dapat menghapus rintiknya

Lalu menawarkan selembar tissue untukku.

Disaat kau sedang mengalami krisis kebahagiaan dan disaat yang tepat ada seseorang yang berbicara seindah itu-sambil menawarkan  sejumput tissue padamu, Percayalah….siapapun orangnya pasti akan langsung kau daulat menjadi teman bicara.

“tau apa kau tentang langit?” kataku sinis
“hehe aku memang awam soal itu. Tapi aku pernah baca, sajak dari seorang penyair permpuan berjudul laut dan langit. Ada sebaris bait yang bilang
 ‘bila laut terduga
  langit tiada
  mungkinkah jarak yang memupus-nya?”

Jarak. Ya, ia benar. Seakan ada ribuan jarak menghalangiku merengkuh kebahagiaan. Menghalangi dan memupuskan harapanku.

“sok puitis ya aku?hahaha, oh iya kenalkan namaku panji”

Aku mengernyitkan dahiku. Tapi entah kenapa aku menyambut tangannya, seraya berkata
“ kirana”

Air wajahnya berubah. Ia agak tertegun mendengar namaku, tetapi ia kembali bicara menanyakan destinasiku dan kami pun terlibat dalam suatu percakapan yang sejenak dapat mengalihkanku dari rasa sedih.

           Ketika ditanyakan apa tujuanku ke pulau dewata, aku hanya bilang sedang ingin refreshing otak tanpa deskripsi lebih lanjut. Sedangkan panji sendiri mengaku bahwa ia dan ke-3 teman backpackernya (yang berteman dengannya sejak sama-sama jadi member sebuah situs backpacker) yang duduk di kursi terpisah dalam pesawat sedang dalam ekspedisi wisata yang dia beri judul ‘melancong ilmu’. Menurutnya wisata hanya sekedar wisata bila tak bisa membawa sesuatu di dalamnya, untuk itulah dia ingin berwisata sekaligus ingin mengeksplor budaya di tiap tempat yang ia temui. Caranya lewat pernikahan adat ia bilang. Sebuah pernikahan adat bukan hanya ajang untuk mengawinkan dua insan manusia, tetapi juga jadi ajang mengawinkan banyak aspek dalam budaya suatu suku/adat istiadat tertentu. Lewat pernikahan adat suatu suku, kita bisa tau ke-khasan daerah tersebut. Dari prosesnya, pakaian adatnya, sajian masakannya, lagu-lagu daerah yang dikumandangkan, tari-tarian yang disajikan, bahkan euphoria kegembiraannya pun bisa ikut kita rasakan. Karena itu mereka memilih pulau Bali, Lombok , Lampung dan akan berakhir di Jogja. Kenapa memilih lokasi tersebut? Alasannya cukup simple, ya karna masing-masing dari mereka punya sejarah latar belakang suku ditempat itu. Yoga dari bali, Baiq dari Lombok, Riyo dari lampung dan Panji dari Jogja. 

Dengan begitu mereka dapat menikmati keindahan tempatnya sambil menjelajah dan berakhir dengan sebuah goal, yaitu dokumentasi tentang budaya lewat pernikahaan adat. Dokumentasi itu akan dipublikasikan lewat media internet, panji bercerita bahwa dia punya situs online backpaker yang khusus menampilkan perjalanan wisatanya dalam mengeksplor keindahan tiap tempat di Indonesia. Semacam sebuah ritual, di sela-sela pekerjaannya(yang tidak ia sebutkan) ia harus menyempatkan waktu untuk kembali bertualang.  Ngubek-ngubek Indonesia sampe bosen katanya.

Aku mendadak pusing mendengarnya. Sangat bertolak belakang sekali dengan aku yang bisa dibilang punya  pengetahuan nol besar mengenai bangsa sendiri. Mungkin jika ditanya tari saman itu seperti apa, aku akan mengasumsikan bentuk tariannya seperti permainan do-mikado-mikado-eska yang populer waktu sekolah dasar.

Setelah landing, panji pun mengenalkanku dengan ketiga teman ekspedisi nya. Ya, semuanya laki-laki. Alih-alih ingin segera pergi walau aku tak tau ingin melanjutkan kemana, mereka lantas menawarkanku untuk bergabung. Tadinya aku menolak, tapi aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku tentang ekspedisi mereka yang terdengar seru. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk menjadi anggota ke-lima sekaligus satu-satunya yang bergender perempuan di kelompok backpacker itu. Yea, aku pikir aku perlu membuka mataku akan apa yang ada si sekelilingku. Sekarang aku tak ingin menduga lautan lagi, biarlah mengalir menjadi delta, muara, atau apapun namanya. Toh bukankah semua air ditakdirkan untuk terus mengalir?
………………………………….xxxxxxxxxxxxxxx…………………………………………
        Tadinya aku merasa canggung berada dalam kelompok kecil ini. Tetapi mereka sangat welcome kepadaku, memperlakukan aku seperti layaknya teman lama dan hal itu membuat diriku mau tak mau terjun dalam kenyamanannya.
Menikmati bali adalah hal yang baru buatku, berbeda dengan ke-empat rekanku yang mungkin sudah puluhan kali menjejaki pulau ini. Aku akui, disini memang surganya wisata. Tak henti hentinya aku mengagumi ketika  merasakan keindahan pantai-pantainya, hijau bening alamnya, kultur masyarakatnya, rempah yang terkecap lidah pada tiap makanan khasnya. Dan lagi, aku takjub dengan atmosfer kulturnya. Baik itu di denpasar, nusa dua, tabanan, gianyar, kintamani, semua wilayah di bali masih kental akan kesakralan agama yang dianut masyarakatnya. Hampir tiap hari aku berusaha tidak menginjak sesajen yang di tempatkan di tiap jalan, pelataran toko, pantai, bahkan di losmen kawasan poppies lane kuta tempat kami menginap, ada saja aku temukan kembang sejajen di depan pintu kamar. Tiap pagi mereka sembahyang, semua pura tiap hari penuh, kata panji banyak sekali upacara adat yang ada di bali baik itu skala kecil maupun besar.

 Kami menghabiskan waktu hampir 2 minggu di bali mencoba menelusuri berbagai keeksotisannya dengan menyewa kendaraan, kami loncat dari satu tempat ke tempat lain dari mulai kuta, nusa dua, tanah lot, padang-padang, balangan, geger, bias tunggal, uluwatu, ubud, trunyam dan banyak tempat lagi yang seakan tak akan pernah ada habisnya untuk dijelajahi.
Ketika suatu sore kami habiskan untuk makan ayam betutu di daerah sanur, yoga tau-tau teriak kegirangan begitu mendapat pesan dari sepupunya yang mengatakan:

“besok 13 sasih kadasa, sahabatku ada yang menikah di daerah bedugul dekat pura ulun dalu. Kamu boleh datang meliput jika mau, aku sudah bilang maksud dan tujuanmu”

Rasa excited campur semangat menyebul dari diri kami. Sejak pagi buta kami sudah menuju bedugul hingga akhirnya bisa menyaksikan sendiri ritual pernikahan di pura leluhur mempelai laki-laki yang dihadiri oleh rekan dan kerabat kedua belah mempelai.

         Ritual dimulai dengan upacara manusayatna  yaitu pemangku adat akan sembahyang , lalu dilanjutkan dengan persembahyangan. Untuk sembahyang ini, kami harus sedikit menyingkir karena yang boleh menyaksikan hanya segelintir keluarga mempelai laki-laki. Setelahnya, diadakan upacara pradasina  yaitu keliling pura 3 kali sambil si lelaki memanggul pacul dan wanitanya membawa kendi. Kemudian ada serentetan ritual inti seperti menyerahkan serenceng uang logam lama, menghunuskan tikar dengan keris, injak telur hingga menerobos tali. Lanjutan dari acara inti ada proses pemandian, suap-menyuap makanan lalu mejaruman ( menjalin kekeluargaan ke rumah mempelai wanita) kali ini kedua mempelai diangkat memakai pandu-panduan layaknya raja dan ratu yang baru dinobatkan.

Satu hal yang aku rasakan saat itu ialah aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada kain-kain bercorak cantik yang disematkan pada mempelai masyarakat yang ikut serta, sanggul-sanggul yang ditata menjulang tinggi dengan ornamen dan bunga yang bertengger diatasnya, tembang juga tarian-tarian yang mengiringinya, dan yang paling penting ialah keapikan masyarakat adat yang sangat mensucikan proses pernikahan sehingga tak bisa dipungkiri aku sangat merasakan suasana yang khidmat, sakral, dan indah. Terlebih ketika yoga menceritakan satu persatu filosopi yang terkandung dalam ritual tersebut. Sore hari kami baru kembali, panji puas sekali dengan dokumentasinya kemudian langsung memutuskan untuk menyebrang ke Lombok esok pagi dengan naik kapal ferry dari pelabuhan padangbai. Kami pun setuju untuk meneruskan perjalanan.

          Lombok yang terletak di NTB hampir setipe dengan Bali yang menawarkan ke-eksotisan pulau dengan banyak tempat menarik dan sensasi tiap tempat yang berbeda-beda. Ditempat ini juga terdapat beberapa suku pendatang, namun baiq bilang penduduk aslinya ialah suku sasak yang mayoritas beragama islam. Baiq sendiri mengaku ia bukan asli suku sasak, tetapi dalam darahnya hanya mengalir latar belakang ibunya yang dulu lahir di lombok sebagai seorang pendatang. Tidak seperti di bali dimana kami menyewa penginapan hanya di satu tempat saja, di Lombok kami berpindah-pindah tempat penginapan karna harganya tidak jauh beda dan dirasa lebih efisien. Jika siang hari kami mengeksplor pulau ini. Dari mulai snorkeling, berselancar, bermain canoe di pantai senggigi, lalu mengunjungi pantai cemara yang punya pasir seputih tepung, tidak ketinggalan kami juga keranjingan surfing di pantai yang orang bilang seperti heaven on the earth, ya pantai surga. Meski aku tidak bisa surfing, aku senang melihat orang lain menerjang ombak walau akhirnya tergulung air.

Aku sendiri beberapa kali absen main water sport dan pergi ke tempat yang kata orang menarik. Panji yang sering menemaniku. Sekedar untuk membeli kain tenun di sukarare atau ke batu bolong untuk bisa melihat siluet gunung agung yang bercampur sunset sore hari. Aku selalu suka cahayanya yang jatuh terpantul di air laut.

Hampir semua tempat wisata yang ada di Lombok kami jelajahi, hanya absen dengan segara anak dan trecking ke rinjani yang bukan hanya membutuhkan waktu tapi juga tenaga yang luar biasa. Yang terakhir kami menyebrang lewat pelabuhan bangsal ke Gili. Terdapat 3 Gili di barat laut Pulau Lombok, yaitu Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Kali ini kami ke gili trawangan yang terkenal dengan sebutan "3NP:  no pollution, no police, no policy". Disebut begitu karena di tempat ini cuma disediakan kereta kuda dan sepeda demi menjaga kelestarian udara sekitar pulau. Alasan lainnya adalah karena kebebasan tanpa batas yang ditawarkan pulau gili. Di main point atau pusat keramaian disediakan alcohol, bir, cocktail yang bisa didapat cuma Rp.25.000. Bahkan  mushroom,  dumolid, ganja juga legal di pulau ini. Jika malam hari, gili seakan tak pernah tidur. Bar-bar, dentuman music, orang-orang yang berpesta, gejolak laut yang tak ada berhentinya semua seperti melebur jadi satu. Agak sulit dibayangkan seberapa besar toleransi yang diberikan penduduk yang mayoritas beragama islam.

Malam itu kami duduk di warung kaki lima dekat pohon kecil di pinggir laut. Panji, yoga, baiq dan riyo sedang asyik berbincang sambil meneguk beberapa gelas great palm wine atau tuak yang dijajakan pemilik warung berambut gondrong. Sementara aku seperti biasa mengubur suaraku dalam-dalam, hanya mendengarkan sembari meminum kopi panas pesananku. Malam itu malam kedua kami menghabiskan waktu di gili, kami belum menemukan satupun suku sasak yang ingin menggelar pernikahan. Ketika bulan semakin meredup, tiba-tiba saja riyo membuat kami terjaga lagi dengan membuat suatu pertanyaan

“3 hal terburuk apa yang ada pada dirimu? Yang paling buruk akan berhak dapat pelukan persahabatan di akhir”

Pertanyaan itu harus kami jawab sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing.
Dimulai dari yoga

“oke baiklah, 3 hal terburuk dari diriku… 1. aku sebenarnya phobia ketinggian dari kecil, makanya aku ingin jadi backpacker untuk menghilangkan phobiaku. 2. semenjak kuliah di filsafat, aku jadi ke-blinger dan ga percaya apa-apa lagi sampe sekarang. Yang ke 3. karna itulah aku ga pernah sembahyang sama sang hyang widi lagi hahaha”
Yoga dan kami sama-sama menertawai keburukannya…dan itu sama sekali bukan masalah untuknya..kemudian dilanjutkan dengan baiq

“kalo aku…1. Aku dulu pernah mengidap obesitas, beratku pernah sampe 120 kg diumur 14 tahun dan orang memanggilku si lemak berjalan 2. aku jadi mengidap diabetes karna obesitasku itu dan hal terburuk ke-3 adalah perjuanganku menurunkannya!gila setengah mati, nyaris stress aku nurunin berat badanku sampe aku diet ketat selama 2,5 tahun fuiih”
Entah kenapa kami tertawa lagi mendengar pengakuan baiq…lalu diteruskan oleh riyo..

“hal terburuk 1 dariku ialah dulu waktu SMA aku candu ganja, heroin, mushroom semua aku coba sampe akhirnya aku harus direhab bahkan dirukiyah segala. 2. Sembuh dari obat-obatan aku malah jadi suka nenggak alcohol haha, tapi aku gamau high lagi sekarang. Dan hal terburuk ke-3 adalah………damn I really like this tuak!hahahaha”
Sontak kami langsung tertawa terbahak bahak dengan riyo yang menceritakan kisahnya tanpa beban…kemudian pandangan kami pun beralih ke panji yang mendapat giliran selanjutnya

“apa ya haha, kalo aku…mungkin hal terburuk pertama adalah dulu aku bandel banget, sampe pernah ga naik kelas. Terus hem…..ke 2. I think I have… inability…banyak orang yang terlalu expect too much sama aku, padahal I have no power hehe yang ke 3. Hmm oh iya…aku belom pernah nemuin org yang sayang tulus sama aku selain keluargaku”

Kali ini tidak ada tawa yang menyembul ke udara….melainkan celetukan demi celetukan mencemooh
“apaan sih ji….yang pertama okelah cukup buruk..tapi seterusnya…kok curhat” kata yoga

Lalu tibalah giliran aku…..semua perhatian sekarang tercurah padaku…aku merasa tak siap…haruskah aku ceritakan? Harusnya ini hal mudah buatku…sebelum bicara, spontan aku menyambar gelas berisi tuak yang ada di hadapanku, bukan lagi kopi. Tidak aku sudah tidak ingat kopi, baiklah aku akan angkat bicara..

“Hidupku ini permainan catur. Hatiku ibarat papan-nya, yang cuma punya dua sisi warna. Hitam dan putih. Hal paling buruk adalah aku terpenjara dalam permainan caturku sendiri. Aku dibuat serupa, seragam, diatur agar pion-pionku berhasil dan menang. ya, aku tak diberi pilihan oleh orangtuaku ketika aku kecil hingga aku dewasa. Aku tak pernah tau apa hal baik yang ada di dalam diriku, sama hal-nya seperti aku tidak pernah tau bagaimana rupa negaraku sendiri kalo tidak lewat perjalanan bersama kalian ini. Ketika aku memutuskan untuk dapat punya pilihan sendiri, aku malah tak bisa menentukan. Butuh pegangan. Sampai akhirnya papan catur itu aku cat menjadi warna hitam sepenuhnya, tanpa menyisakan putih. Aku tak tahu, kalau hitam itu buruk hingga aku merasakan gelap seperti sekarang. Ya, aku sudah janda 2 kali. Diumur 26 ini. sebelum aku menyelesaikan permainan caturku, papannya sudah tak dapat dipakai lagi. Sama seperti hatiku”

        Aku memang tidak menyebutkan 3 hal seperti yang sebelumnya dilakukan. Tapi cerita dariku, berhasil membuat ke-4 orang itu menatapku diam. Diam yang lama. Mereka terbengong bengong seperti takjub, tidak percaya atau apalah itu namanya. Ketika diam itu terlalu lama dan suasana jadi beku karenanya, tak ada yang memulai atau membuka topik lagi semua jadi terasa canggung. Tidak, selain panji. Tanpa diminta panji seketika langsung membantuku mencairkan suasana….

“that was a good story! Intinya, semua manusia pasti punya hal baik atau buruk dalam dirinya. Kayak cerita kita masing-masing tadi, I think kita semua disini deserve buat dapet huge hug deh yagak?”

Mendengar perkataan panji, mereka langsung setuju, bertepuk tangan setelahnya, dan tidak pernah membicarakan tentang hal buruk itu lagi. Tapi aku merasakan perubahan dan kecanggungan mereka akan aku. Semua. Kecuali panji.

         Pada pagi buta kami memutuskan untuk pergi dali gili, entah kemana kami akan melanjutkan perjalanan. Ditengah keputus-asaan, nelayan yang kami tumpangi kapalnya bilang kepada kami  

oooh coba kalian berkunjung ke Desa Gangga yang berlokasi di Lombok Utara. Jika weekend seperti ini biasanya banyak yang menyelenggarakan prosesi pernikahan”.

Dengan berbekal peruntungan, kami pun menuju desa gangga. Setelah sampai tujuan, benar saja ternyata dewi fortuna sedang menaungi kami hari itu. Di desa gangga, rupanya ada salah satu penduduknya yang sedang menjalankan prosesi pernikahan adat sasak. Kami minta izin dengan penduduk sekitar untuk diperbolehkan melihat dan meliput, mereka sangat ramah juga welcome terhadap kedatangan kami sehingga tanpa banyak persyaratan kami langsung dipersilahkan.


           Prosesi pernikahan dilakukan di atas Berugak/bale-bale dan dikelilingi oleh kerumunan masyarakat. Pengantin laki-laki harus menjalankan prosesi dengan benar, jika ada salah satu kesalahan atau jika masyarakat mengucapkan ‘tidak sah’ maka harus diulang kembali sampai bisa. Acara prosesi pernikahan suku Sasak Lombok ini diiringi oleh musik tradisional asli Lombok yakni Gendang Beleq dan sebagian menggunakan Kecimol. Iringan musik ini akan terus ditabuh hingga menuju rumah pengantin perempuan. Pengiring pun tak jarang akan berjoged bahagia dan mereka akan disambut oleh keluarga pengantin perempuan dengan jamuan tradisional suku Sasak. Pada prosesi ini terasa sangat haru karena pengantian perempuan akan menangis di kaki orang tuanya karena selama proses mulai dari penculikan dan prosesi Nyongkolang, pengantian perempuan tidak dapat bertemu dengan orang tuanya.

 Ya, percaya atau tidak dalam adat Sasak ada prosesi yang sangat unik yang disebut Selarian Melarik. Dalam prosesi ini, saat sepasang muda-mudi sepakat untuk memasuki jenjang pernikahan, mereka akan saling menculik dan diculik. Si pria akan menculik si wanita. Setelah tiga hari, barulah si pria datang berkunjung ke rumah mempelai wanita, bukan untuk “mengembalikan” tapi hanya memberitahukan bahwa kedua calon pengantin telah sepakat menikah. Orang tua calon pengantin wanita pun tidak berhak menolaknya. 
Setelah selesai meliput dan  ikut menikmati jamuan oleh masyarakat suku sasak, kami kembali ke ibu kota Lombok yaitu mataram untuk melepas lelah dan bermalam disana. Keesokan harinya kami sepakat melanjutkan perjalan ke lampung melalui jalur udara dari bandara international Lombok dan mendarat di bandara radin inten 11 lampung.

        Di Lampung, riyo menawarkan rumah sederhana beserta kendaraan untuk berpergian milik keluarga besarnya yang di daerah Gedungtataan, pesawaran Lampung selatan. Riyo sepenuhnya memandu kami, karna sebagian keluarga besarnya masih mendiami lampung. Banyak sekali wisata menarik di kawasan lampung selatan. Kami diajak ke Pantai Canti dan Pantai Wartawan di Kota Kalianda. Tapi riyo bilang, ada yang kurang kalau belum ke Pantai Batu Kapal. Letaknya agak tersembunyi, di timur kaki Gunung Rajasa dan harus berjalan kaki kira-kira 300 meter dari jalan raya. Pantai ini relative sepi juga masih asri. Di tempat ini ada beberapa wahana permainan tersedia, untuk mereka yang suka bertualang dan memacu adrenalin. Arena paintball, flying fox, highrope, snorkeling, water ball, banana boat dan beberapa wahana kawasan pantai Kalianda. Cocok untuk tempat melepas penat.

Riyo juga mengajak kami ke pantai teluk kiluan yang ada di Kabupaten Tanggamus. Kami menginap beberapa hari di rumah panggung yang disediakan untuk para pelancong. Tempat ini sangat menakjubkan buatku. Kapan lagi  bisa melihat kumpulan lumba-lumba  berjumlah ratusan ekor  yang sewaktu waktu bisa melompat naik ke permukaan laut. Lumba lumba hidung botol dan lumba lumba paruh panjang. Kami menyewa perahu katir untuk dapat berinteraksi lebih dekat dengan mereka. Mereka senang mendekati perahu atau kapal yang tengah melintas di laut. Setelah dekat, lumba-lumba pun berloncatan, bergantian menyelam, timbul-tenggelam, hampir tidak ada jarak dengan perahu. Mereka seolah berlomba menunjukkan diri kepada manusia, ingin disentuh. Aku juga melihat beberapa penyu hijau berenang-renang di beningnya air laut.

Di malam hari pada saat bulan utuh dan penuh, aku duduk-duduk di sekitar pondok sendirian. Mengagumi keindahan sang purnama, menimbulkan rasa takjub kepada Sang Maha Pencipta. Begitu terlarut dengan gemerlap cahaya bulan yang jatuh diatas permukaan pantai kiluan, hingga aku tidak sadar ketika panji datang dan ikut duduk disampingku.

“mau aku kasih tau rahasia langit lagi ga?” ia bergumam pelan mengalihkan lamunanku
“emang ada berapa banyak rahasia langit yang belum aku ketahui?” tanyaku
ia menjawab pertanyaanku “beribu. Sama halnya seperti bumi, pikiran kita, bahkan dari satu sel bakteri pun ada banyak hal yang belum kita ketahui”

Aku hanya tertawa kecil. Lalu entah kenapa, aku mulai bertanya kepadanya..

“ji, jawab jujur ya. Sebenarnya kamu atau yang lain ngerasa jijik ga sih sama aku sejak aku mengakui rahasia-rahasia yang menjadi hal terburuk dalam diriku waktu di gili kemarin?”

Tanpa banyak berfikir, panji santai menjawab  “manusia sama hal buruk itu kayak sahabat akrab, susah buat dipisahin. Semua orang pasti punya hal buruk dalam hidupnya. Seburuk buruknya kamu, ya cuma kamu aja yang berpendapat kayak gitu. Padahal orang lain belum tentu mikir gitu kan?”

“aku cuma butuh jawaban jujur ji bukan jawaban yang menghibur” jawabku agak ketus

Panji terdiam sejenak lalu memulai lagi “apa sih yang ngebuat kamu berfikir dan menobatkan diri kamu sendiri sebagai orang yang punya hidup paling buruk di dunia ini?”

Pada menit berikutnya panji berhasil membuat aku menceritakan semua hal tentang hidupku. Tentang keluargaku, diaturnya kehidupanku, hal-hal kebarat-baratan yang menyelimutiku semenjak aku kecil, pernikahan-pernikahanku,  ketidaktahuanku akan banyak hal, bahkan impianku sedari dulu yang cuma ingin jadi diri sendiri.

Lalu dengan lirih aku meneruskan

“Aku merasa hal ini mungkin disebabkan oleh kebudayaan modern  yang selama ini aku peluk. Pikirku dulu, seakan aku harus termodernisasi untuk bisa survive pada abad ini. Yang nyatanya itu hanya menjadi ancaman karena tidak sejati dan tidak substansial. Yang ditawarkan padaku cuma kesemuan. Itu membuat aku menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah. Karna itu aku merasa kebahagiaan sulit sekali aku dapatkan seakan telah aku makan bulat-bulat sendiri. Sangat sangat sangat berbeda dengan apa yang  aku liat  sepanjang perjalanan ini pada orang dalam budaya sekelilingku dengan etenitas, nilai –nilai, hal-hal kecil tapi baik imbasnya. Aku sering berfikir, daripada menjalani kehidupan seperti ini, mungkin aku akan lebih bahagia jika tidak pernah dilahirkan ke dunia “

Panji yang sejak tadi mendengarkan aku bicara, mulai berkomentar..

 “Well, sorry before  bukannya tidak setuju dengan jalan pikiranmu tapi menurutku kita ini tidak mesti tertutup juga dengan budaya yang datang dari luar.  Ya salah satunya dengan menjadikan sosial kapitalnya sebagai alat untuk mengembangkan dan membangun identitas-identitas dalam setiap pribadi. Tapi identitas itu seharusnya  kuat dan terbuka. Karna pada akhirnya kita pasti akan bertanya-tanya ; 'mungkinkah kita akan bergaul akrab, mandiri, kreatif dengan sains dan teknologi tanpa mengembangkan iklim intelektual dan gaya berfikir yang secara historis menjadi asal-usul kebudayaan teknologis?' 
       Jadi  yang menjadikan kita orang dengan hidup yang berkualitas baik sejatinya adalah keyakinan akan diri sendiri, kesadaran harga diri yang kuat, disertai keterbukaan dengan pendirian yang memungkinkan kita jadi orang modern tanpa kehilangan jiwanya sendiri. Menurutku, hidup ini begitu baik terhadapmu. Karna kamu adalah pohon yang  telah tumbuh cepat dan sangat tinggi, meninggalkan pohon-pohon lain dibelakang. Wajar dong  angin bahkan badai sangat amat menyukaimu untuk dapat menumbangkanmu? Jangan tuding apapun kirana,  karna arti hidup begitu besar untuk dapat disalahkan. Kamu bukannya tidak punya kebahagiaan, tapi mungkin jalanmu hanya dibuat berputar sebelum mendapatkannya”

            Aku mencerna baik-baik kata perkata yang dituturkan panji. Semuanya benar. Sekarang tampaknya pola fikirku telah terjungkal dan diputar 180 derajat ke arah sebaliknya. Aku seperti sadar. Kenapa aku tidak pernah melihat ke dalam diriku sendiri. Mana yang salah dan mana yang benar sekarang tampak sama, tampak relatif, tampak melebur jadi satu. Kemudian bulir bulir airmataku jatuh, aku menangis hingga sesenggukan. 

Panji tidak berkata apa-apa, ketika wajahku sudah basah dia baru menarik sisi kanan wajahku, dan menyematkannya di pundak

“menangislah….buat dirimu puas akan tangis. Sehingga kau tidak perlu merasakannya lagi. pundakku akan selalu ada untukmu”

Aku mengelap pipiku, merasa nyaman akan pundak panji yang sedang menopangku “makasih  ya ji kamu baik sekali”

Sejak malam itu hubunganku dengan panji jadi makin dekat. Layaknya orang yang saling sayang, dan saling menjaga. Entahlah, aku yang terlalu berlebihan menanggapi atau apa, tapi aku rasa aku dan panji sudah seperti dua magnet yang sulit dipisahkan. Dimana ada dia pasti ada aku, begitu sebaliknya.

Kami menghabiskan waktu yang lebih sedikit di lampung. Sehabis dari kiluan kami mengunjungi taman nasional di way kambas, lalu langsung kembali lagi ke gedungtataan untuk mendokumentasikan pernikahan adat. Kali ini saudara sepupu jauh riyo lah yang ingin melangsungkan pernikahaan. Di lampung ada dua pilar adat, yaitu saibatin dan pepadun. Kebetulan di desa gedungtataan masyarakatnya masih menopang adat pepadun. Kami mengikuti serangkaian upacara yang dilakukan dari jauh-jauh hari.

Dari mulai nindai/nyubuk, nunang(melamar), nyirok (si pria memberi semacam suatu ikatan seperti mas berlian atau kain), menjeu (si pria memperundingkan mas kawin, atau uang jujur), sesimburan(dimandikan diiringi dengan tetabuhan), betanges(mandi uap memakai rempah rempah), berparas(mencukur bulu-bulu, dan memasang pacar pada kuku si wanita). Pada hari pernikahan pun dilakukan upacara adat dalam 2 malam yaitu maro nanggep, cangget pilangan, temu dipecah aji. Barulah dilakukan upacara ijab kabul dengan si pria membawa seserahan berupa dodol, sirih pinang, lapis legit, kue kering dan uang adat. Setelah itu mereka sungkem dan sembah sujud kepada para tetua yang hadir.

Sesudah pernikahan pun masih banyak upacara-upacara yang dilakukan. Kami mengikuti semua hingga acara selesai. Diantaranya upacara ngurukkren majeu: Mempelai wanita dibawa ke rumah mempelai pria dengan menaiki sejenis kereta roda empat. Pengantin pria memegang tombak bersama pengantin wanita dibelakangnya diiringi musik tradisional talo balak. Lalu upacara Tabuhan Talo Balak : Sesampai di rumah pengantin pria, mereka disambut tabuhan dan tembakan meriam, lalu seorang ibu akan menaburkan beras kunyit campur uang logam. Pengantin wanita mencelupkan kedua kaki kedalam wadah dari tanah liat beralas talam kuningan, berisi air, kembang titew, daun sosor bebek, kembang tujuh rupa dan dilanjutkan prosesi-prosesi yang rumit dan terasa sangat panjang.

Jujur, ini upacara adat terpanjang diantara 2 upacara lain yang telah kami liput. Tetapi kami tetap excited untuk bisa mengikutinya, sangat berkesan apalagi maksud dan arti dari serangkaian prosesi yang dilakukan terasa sangat sakral juga disucikan berbeda dengan pesta pernikahan modern tanpa campur tangan adat.
Setelah dari Lampung, kami pun melanjutkan perjalanan  ke Jogja

Dari bandara adisucipto, panji membawa kami ke Royal Ambarukmo Hotel. Aku sangat heran, biasanya kami akan mencari tempat paling murah bahkan kami akan berusaha mengeluarkan biaya seminim mungkin untuk sekedar tempat tinggal sementara atau biaya makan. Tetapi ia berusaha meyakinkan dengan bilang kali ini aku yang traktir kalian, udah tenang aja . Tak tanggung-tanggung, iya juga menyewakan kami sebuah mobil yang bisa kami pakai selama di jogja. Entah hanya untuk ke malioboro, pasar, alun-alun, makan gudeg di pinggir jalan. Sampai ke candi atau situs-situs tertentu, pantai dari mulai parang teritis di bantul, pantai sundak-indrayanti-pok tunggal-dan ngobaran di gunung kidul, cave tubing di goa pindul dan kalisuci,  hingga melihat dari dekat gunung merapi di sleman. Kami dibiayai panji sepenuhnya di Jogja. Agak heran dan janggal dengan sikapnya, tetapi kami tetap menikmati perjalanan hingga goal terakhir yaitu mendokumentasikan pernikahan adat daerah ini terpenuhi.

Tak terasa, perjalanan ini akan segera berakhir. Aku terlalu nyaman dan seperti tak iklhas dengan kerampungan wisata ini. Sebenarnya bukan hanya itu, aku juga tidak tahu mau kemana jika ini semua berakhir. Tak ingin rasanya aku kembali ke Jakarta, dengan segala kerumitan yang bisa membuat diriku terpuruk lagi. Rumah, keluarga, pekerjaan, kenangan telah aku tinggalkan jauh dibelakang.

Di suatu pagi aku bangun aku menemukan sepucuk surat di depan pintu kamar hotelku..

“ ...sudah sejak lama aku melihat  kamu di tiap mimpi-mimpiku
Ragamu berdiri di pojok lapangan banteng sebelum ada terminal, engkau melintas sepintas serasa aku tidak kaukenal, kemudian kita naik oplet tua willys tahun lima dua…
Masihkah engkau di depan warung desa Ayuthya, di pojok Metro Trocadero, di antara rak-rak buku toko Atheneo, di pedalaman Indonesia yang bentuknya seperti gudang sederhana…
Pada saat penyebrangan sesudah makan siang, lepas pantai Gilimanuk, kulihat kau bersandar  disana sepuluh tahun yang silam, pohon-pohon palma dibelakangmu…
Ada suatu saat di Margomulyo, sehabis sore Yogja dengan ‘kukukuk’ burung mengantar malam, awan, dan cahaya sama tenggelam…
Aku mencatatmu dan berusaha melupakanmu….
Engkau campur-baur dan sering kali kabur, namun aku mencatatmu, untuk rindu dan lalu kucoba melupakanmu…
Tapi kita dipertemukan langit.  Tak bisa dipungkiri lagi seberapa besar aku menyayangimu..
                  Tunggu aku kirana, aku akan mempertemukanmu dengan terang. Janji. “
-R.M.P.A-
                                                                 (*disadur dr engkaukau itu,yg berdiri di tikungan itu?) 

         Aku sama sekali tak mengerti. Bahkan inisial r.m.p.a pun terasa sangat asing bagiku. Aku langsung menghambur ke kamar panji untuk mendiskusikan tentang surat ini, begitu aku datangi kamarnya yang aku lihat malah kosong melompong. Ternyata ia sudah check out, aku pun langsung berlari dan mengetuk kamar ketiga temanku yang lain untuk menanyakan kemana perginya panji. Yoga, baiq, dan riyo sama-sama tidak tahu akan keberadaan panji. Handphone nya pun tidak dapat dihubungi lagi. Kemana panji? Apakah mungkin surat yang aku pegang ditanganku ini berasal darinya? Apa mungkin inisial itu adalah nama lain/nama asli/nama panjangnya? Tapi maksudnya apa? Mendadak hatiku ngilu….

Teman-teman yang lain bilang, mungkin panji hanya berkunjung ke tempat keluarga besarnya sementara dan tak mau diganggu. Untuk itu sebaiknya kita menunggu hingga ia kembali, walaupun perjalanan kami sebentar lagi akan usai.

Benar saja, setelah 3 hari menghilang tanpa kabar tiba-tiba pada suatu siang panji mendatangi kamarku dan meminta aku untuk ikut pergi dengannya ke suatu tempat menggunakan sebuah mobil bmw lama. Ya, hanya aku. Aku lalu mengiyakan meski aku makin bingung dibuatnya.

“ji kita mau kemana?” tanyaku ditengah perjalanan waktu aku melihat plang perbatasan Jogja.
“ke solo” jawabnya singkat.
“ngapain? oh iya kemaren kamu kemana aja ji kok gaada kabar?”
“nanti kamu akan tau. Iya kemarin ada urusan sebentar” jawabnya  seperlunya.
“hm…apa yang menaruh surat di depan pintu kamarku 3 hari lalu itu kamu ji?”
“oh…kamu sudah baca?”

Aku hanya menggangguk pelan. Merasa ada yang menggelitikku seakan beribu pertanyaan ingin aku sematkan untuknya.
Aku kemudian melanjutkan lagi “kenapa?kok?”
Ia hanya berkata  “sebelum aku menjawab semuanya, aku ingin memperlihatkan kamu sesuatu…kamu akan tau sendiri nanti, I promise”
…………………………………..xxxxxxxxxxx………………………………………………

Tibalah kami pada sebuah bangunan eksotis yang pelatarannya disebut sebagai alun-alun. Ya, keraton Surakarta. Tadinya aku fikir, panji ingin mengajak aku mengenal budaya keraton solo bukan hanya jogja. Tetapi, waktu aku memasuki bangunan bernuansa warna putih-biru dengan arsitektur bergaya Jawa-Eropa ini  semua makin terasa begitu janggal. Seluruh pegawai, abdi luar, abdi dalam, juga orang-orang yang kami jumpai waktu kami lewat di area keraton, entah mengapa menyapa panji seolah tunduk dan hormat kepadanya  “monggo mas panji” seperti itu.

Begitu kami sampai di Sasana Sumewa yang merupakan bangunan utama di Keraton Surakarta, kami disambut oleh wanita tua yang memakai kain kebaya dan sanggul lengkap dengan gestur tubuh yang menunjukkan pribadi seorang priayi jawa.

“oalah nji…wes tak enteni kowe le…iki calonmu sing kowe ceritaake karo aku? Sing kowe impen imepeni saban bengi? Sopo jenenge kowe cah ayu?”

Panji hanya mesam mesem, ia lalu menjawab pelan sambil menarikku agar lebih mendekat ke wanita tua itu “njeh eyang..hehehe..kenalkan eyang, ini kirana”

       Aku menawarkan tanganku berusaha untuk tersenyum. Tetapi aku tertegun lama. Tanganku gemetar dan berkeringat, aku sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi. Ada apa ini sebenarnya. Wanita tua yang disebut panji eyang itu lalu mengajakku makan siang disebuah ruang makan di tengah-tengah keraton. Kami makan bertiga dengan suasana penuh kekeluargaan. Sesekali wanita tua itu menyematkan pertanyaan mengenai pekerjaan, hobi, makanan favorit, tapi tak sekalipun menyinggung hal-hal pribadi seperti keluarga ataupun yang menyangkut statusku.

 Setelah jamuan makan singkat, panji lalu mengajakku pergi tanpa sepatah kata pun terucap. Aku gusar, gemas dengan sikapnya, di dalam mobil bmw lama-nya aku memendam semua keingtahuanku sampai  tiba-tiba saja spontan aku berteriak kepadanya

“ji! Stop! Aku patut dapet penjelasan kamu setelah banyak hal yang terjadi dan gak aku ngerti. Kalo kamu mau tetep bungkam, turunin aku sekarang atau aku loncat”

Panji kemudian langsung meminggirkan mobilnya di sudut jalan. Bukannya memberikan aku penjelasan, ia malah terkekeh dan bilang “dasar kamu ini…coba kamu tunggu sebentar lagi”

“tunggu apasih?udahlah cukup rahasianya. Kasih tau aku ji, kasih tau aku semua yang ga aku tau!”

          Akhirnya panji menuruti kemauanku. Ia menjelaskan. Lengkap. Satu persatu. Dari latar belakang keluarganya yang sebenarnya adalah keluarga keraton kasunanan Surakarta, dan dia sendiri adalah cicit dari Kanjeng Susuhunan. Tadinya ia tinggal di solo,  tetapi ketika kuliah ia memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Karena bagi dirinya, menjadi keluarga keraton itu sungguh tidak enak. Dia terus menjadi sorotan orang-orang, tidak pernah punya orang yang dekat dengannya secara tulus, dan kelangsungan keteraturan hidup yang tidak ia senangi. Hampir sama denganku hanya berbeda situasi, dan berbeda nasib. Ibu dan ayahnya juga tidak lagi di solo, namun berdiam di Jogjakarta. 
Selama di Jakarta panji bahagia karena tidak ada lagi orang yang mengetahui bahwa dirinya berdarah biru, untuk itu ia mulai merasakan kebebasan tapi tanpa melupakan asal usul dan budaya yang ada di dalam dirinya. Setelah panji lulus kuliah, ia menjajaki berbagai pekerjaan dari mulai menjadi editor, art director hingga akhirnya bisa punya perusahaan advertising kecil sendiri. Ia menjalani kehidupannya agar bisa balance. Keluarga, pekerjaan, travelling, plesiran, semua disusunnya agar dia dapat menjadi orang yang utuh. Hanya karena satu hal ia tak bisa utuh, yaitu cinta.

Dari dulu ia tak pernah menemukan orang yang benar-benar mencintai nya terlepas dari apa dan siapa dirinya. Namun semua berubah setelah ia bertemu dengan aku. Entah kenapa ia selalu memimpikan sosok aku bahkan sebelum aku bertemu dengannya. Ia bilang,
          Kirana seperti nama putri Dewi sekartaji atau yang punya nama lain Galuh CandraKirana. Dinobatkan sebagai cinta sejati dari Raden Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun dalam cerita yang berasal dari jawa periode klasik.

          Dan benar saja, panji bilang ia jatuh cinta kepadaku namun tak tahu bagaimana cara memberitahuku. Ia merasa terjerat tali temali setiap melihatku sedih ataupun murung, merasa dihujani embun pagi bila dapat membuat aku tersenyum. Rasa itu semakin kuat hingga ia tak dapat membendungnya lagi. Entah kenapa ia juga yakin, bahwa aku punya perasaan yang sama dengannya. Panji sudah menceritakan aku dan semua latar belakangku kepada keluarga besarnya, hanya eyang nya saja yang perlu diyakinkan kalau aku memang tepat untuknya. Ia bilang itu adalah nontoni yaitu ‘lampu hijau’ untuk dirinya untuk dapat meminangku

Tadinya ia merencanakan ingin membawaku ke sebuah restoran di jogja dimana akan ada ayah, ibu, para sepupu dan saudara akan datang dan melihat prosesi dimana aku akan dilamar panji dengan sebuah cincin yang telah ia siapkan sebelumnya, namun karena aku marah-marah surprise itu gagal dan ia terpaksa memberitahukan aku semuanya.

Jujur jantungku berpacu cepat,shock, kaget, sekaligus senang bukan main akan semua pengakuan panji. Apalagi mendengar tiba-tiba ia ingin melamarku. Tapi ia bilang, ia telah memberikan aku semacam clue lewat surat itu. Bahwa diluar sana ada orang yang sangat mencintaiku, walau tak pernah memberitahukannya. Ada orang yang selalu memimpikanku selama bertahun tahun walau tak pernah terjangkau olehnya. Ada orang yang sangat menginginkanku, membawakan aku sebuah terang, membawakan aku kebahagiaan tanpa harus takut lagi. 

Ya, lewat inisial R.M.P.A yang dibubuhkan di tepi kiri sepucuk surat…. Raden Mas Panji Asmarabangun. Dengan spontan aku memeluk panji sambil menangis haru, ia pun mendekapku lebih erat. Erat dan semakin erat. Seperti meninggalkan dunia, merubahnya menjadi euphoria hanya milik berdua. 

Dalam peluknya aku berkata lirih

“aku mau ji…tapi please jadikan ini pelabuhan terakhir. Karena aku telah lelah singgah”

       Aku meminta restu pada ibu dan ayahku. Aku dan eyang panji sendiri yang bergelar Gusti Raden Ajeng yang berbicara dengan mereka, menjelaskan dan memohon kehadiran orangtuaku sebagai wali. Tak disangka sangka mereka menyanggupi dan bersedia menjalankan semua prosesi pernikahannya. Mungkin karena sebenarnya mereka tau aku sudah banyak menelan pil pait kehidupan, dan mungkin akhirnya mereka sadar kekecewaan ku begitu mendalam sampai aku pergi berbulan tanpa kabar sama sekali. Dikala tau-tau aku muncul dengan segala aspek kehidupanku yang berubah, mau tak mau mereka harus memberikan segala restu dan ridho nya kepadaku. 
 Ketiga teman kami, riyo-baiq-yoga syok bukan main setelah tau kalau panji ialah keturunan keraton, cicit kanjeng susuhunan. Dan rencana nya yang segera ingin meminangku. Mereka senang bahkan menawarkan untuk dapat ikut andil dan mendokumentasikan pernikahan kami nantinya. Kami pun teringat akan perjalana ‘melancong ilmu’ kami yang belum kelar. Satu lagi pernikahan adat jawa yang belum kami liput, dan tak disangka-sangka bakal jadi pernikahan aku dengan panji sendiri nantinya. Sungguh kebetulan yang indah.

Semua persiapan pernikahan diurus oleh keluarga keraton. Semuanya sungguh terasa cepat hingga datangnya hari itu….

Aku merasakan sendiri berbagai pelaksanaan pernikahan adat Solo yang memuat pokok-pokok tradisi Jawa diantaranya :

 Upacara Siraman

Upacara Midodaren

 Nyantri

Selama acara midodaren berlangsung, panji tidak boleh masuk menemuiku ataupun keluargaku.

Upacara Ijab

pengesahan pernihakan sesuai tata cara Keraton, saat ijab panikah dilaksanakan oleh penghulu, tempat duduk penghulu maupun mempelai diatur sebagai berikut :
• Pengantin laki-laki menghadap barat
• Wali menghadap ke selatan, dan para saksi menyesuaikan

Upacara panggih/temu (mengawali acara resepsi)

Balangan Suruh Pada saat jarak mereka sekitar tiga meter, saling melempar tujuh bungusan yang berisi daun sirih, jeruk, yang ditali dengan benang putih.
Wiji Dadi panji menginjak telur ayam hingga pecah dengan kaki kanan, kemudian aku membasuh kaki panji dengan air bunga.
Sindur Binayang  ayahku diinstruksikan untuk menuntun ke kursi pelaminan, sambil ibu menyampirkan kain sindur
Timbang / Pangkon kami duduk di pangkuan ayahku.
Tanem  ayahku mendudukkan kami di kursi pengantin sebagai tanda merestui pernikahandan memberikan berkat.
Tukar Kalpika kami duduk di meja dengan wakil-wakil dari masing-masing keluarga, dan kemudian saling menukarkan cincin sebagai tanda cinta.
Kacar-kucur / Tampa Kaya / Tandur  Panji menuangkan kacang kedelai, kacang tanah, beras, jagung, beras ketan, bunga dan uang logam (jumlahnya harus genap) ke pangkuanku
Dahar Kembul / Dahar Walimah Kami saling menyuapi nasi satu sama lain setelah makan
Sungkeman Kami bersujud memohon restu dari masing-masing orang tua.
Resepsi Setelah semua upacara selesai dilakukan, para tamu mulai makan dan minum makanan tradisional Solo dengan disertai tari tradisional Jawa dan musik gamelan diselingi dengan foto-foto dan salaman.
    Untuk pernikahan anggota kerajaan Surakarta, setelah upacara panggih diakhiri dengan pawai yang meriah agar seluruh warga kota Solo dapat melihat anggota kerajaan yang baru menikah.  Sungguh tak ada moment paling indah di galaksi bima sakti ini selain moment di kala itu.....ketika panji ada disampingku.... Panji...telah jadi penawarku...

         Kali ini aku merasa sayap sayapku bisa aku rentangkan bebas. Bukan hanya satu, dua, tiga tapi semua keinginanku akhirnnya terpenuhi walaupun untuk menuju hal itu bukanlah hal yang gampang.  Panji benar, hidup ini terlalu baik untukku. Jalanku dibuat berputar agar aku bisa lebih kuat mengahadapi apapun. Aku tidak lagi takut. Walau planet-planet bertabrakan dan bintang bintang padam, walau dengan 10.000 sistem matahari bersatu dan berputar diatas poros kepalaku aku yakin aku bisa mengatasinya. Lewat panji aku telah sepenuhnya berubah. Tak lagi aku meragukan penciptaan dengan segala masalah intuisi, persepsi, dari struktur jiwaku yang terlebih dulu rapuh.
         Langit memang selalu biru dan merendah, menyentuh laut sebagai segala yang ajaib dan terlewat jangkauan. Setelah sedih, pilu, jemu, dan sendu akhirnya aku dapat menampung deru rinduku pada kebahagiaan juga keyakinan batin.

Aku telah menjelma jadi orang yang bukan hanya baik. Tapi juga menjelma menjadi orang yang punya tujuan hidup, bukan jadi yang diatur untuk sebuah tujuan orang lain. Menjelma menjadi orang yang diwajibkan punya impian, bukan disunahkan menguburnya dalam-dalam. Kini aku sepenuhnya menikmati pribadi yang menjelma menjadi aku.

2 komentar:

  1. aku menjadi aku bagus fan hehe

    BalasHapus
  2. IMO

    awalnya keren abis
    akhirnya aja yang kurang

    gak ngerti nulis sih haha, tapi bagi gua akhirnya kurang dapet aja

    keep going !

    BalasHapus