Selasa, 30 Desember 2014

Senja dan Malam


Happy new year everyone!
Gue udah cukup lama ga nulis lagi karna sibuk sama kuliah, sama jualan cikbum, sama jadi kang foto amatiran hahaha...
its been a loooooooong time, dan gue kangen banget ngayal lagi! hahah,
jadi mulailah gue menggarap cerita ini yang alurnya cukup sering gue ganti.. ya dibilang cerbung kependekan, dibilang cerpen kepanjangan...terserah deh mau dibilangnya apa..yang jelas, nikmatin aja ya..

perlu diketahui juga, gue membuat cerita ini pure ngarang, sedikit observasi. jadi kalau misalnya ada tempat-atau hal-hal yang salah dimaklumin aja yaa haha enjooooy!!!!!


    SENJA DAN MALAM.

            Aku sedang melahap nikmat salah satu novel Jane Austin yang berjudul ‘sense and sensibility’ sambil duduk bersandar pada rak-rak buku lama di salah satu toko yang letaknya di pinggiran kota. Bangunannya mungkin tampak rapuh, tembok dan ubinnya tak lagi seputih susu, kaca jendela juga beberapa meja dan kursi baca reot tak jarang kutemukan berdebu, lengkap dengan papan nama tua bertuliskan “D’boekenwinkel” yang nampaknya belum pernah diganti sejak puluhan tahun lalu.
Tempat ini dikenalkan padaku lebih dari sewindu lalu…Aku masih ingat rasanya waktu pertama kali masuk tempat ini, terasa sangat familiar seperti aku sering berada disini pada dimensi waktu yang berbeda.
Bau khas lembaran buku-buku usang, jalan sempit pada tiap jeda rak yang terlihat menarik untuk dikulik dan disinggahi,  koleksi buku buku cetakan lama-nya yang lebih lengkap daripada toko lain, mungkin merupakan alasan tepat mengapa aku bisa habiskan waktu ku berjam-jam ditempat ini. Orang yang mengenalkanku pada toko ini dulu, kerap kali berpromosi jika di d’boekenwinkel juga diberikan jasa peminjaman buku dan diizinkan untuk bisa membaca langsung ditempat.
Sudah hampir 30 menit aku sibuk membolak balik halaman, ketika mataku menyisir kutipan kalimat demi kalimat, dan  sampailah aku pada sebuah bagian :
I could not be happy with a man whose taste did not in every point coincide with my own. He must enter in all my feelings; the same books, the same music must charm us both” 

Mataku sempat terpaku, tak mau lepas dari kutip yang menyudahi kalimat itu.
Memoriku terperosot jatuh, ingat akan sesuatu. Seseorang. Dia.
Dia yang tak ternilai,
Yang melihatnya bagaikan pantulan tak berbias. Yang didekatnya seperti merasakan cucuran keindahan bintang bintang di langit tak berbatas. Yang berawalan dari sang Alfa.
Anthony. Anthony calix lengkapnya. Orang-orang memanggilnya anton atau tony, tapi aku lebih suka memanggilnya cal tanpa alasan tertentu. Cal terdengar sederhana, se-sederhana awal perjumpaan kita..

           Aku pun belum mau beranjak dari akhir kutip buku itu. Aku tersenyum getir, ingat akan Cal yang senang berbicara tentang semesta. Dulu, jika kami sedang travelling ke bukit atau gunung, momen yang kami sebut ‘nge-rumput’ ; (terlentang beralaskan rumput sambil memandangi bintang dan langit malam) adalah momen wajib jika hujan sedang tidak berselera datang. Bahkan di hari-hari biasa, kami sering menghabiskan waktu di rooftop rumah nya yang senantiasa jadi markas kegiatan tak penting ini.
          Namun, ia selalu tampak berbinar jika berbicara tentang perjalanan milyaran tahun cahaya untuk bisa menembus dalamnya kosmos galaksi.. atau, mengoceh sambil terkagum kagum dengan peristiwa-peristiwa supernova, yang meski cahaya ledakannya sudah melewati bumi ratusan tahun lalu namun ceceran debu dan gas nya masih bisa dilacak diluar sana.. atau bahkan, secara spontan membeberkan tentang teori ‘the simulation argument’ yang selalu ia amini keberadaannya..

“kita tuh hampir pasti tinggal dalam sebuah simulasi komputer tau….kayak film the matrix!” tegasnya yang kala itu sedang berbaring memandangi malam disebelahku, diatap rumahnya, beralaskan karpet kotak-kotak tipis dan ditemani sebotol juice jeruk ekstrak.
“ha ha!..another theory from the greatest mr.calix”  kataku menggodanya, sambil sibuk mengeker teleskop binocular kecil milik cal.
waktu itu aku sedang mencoba tantangan darinya, yaitu menemukan rasi bintang Crux yang bentuknya mirip layang-layang di langit selatan.
“hahaha, serius al…gimana kalo kita sebenarnya adalah rangkaian angka dalam sebuah komputer. Gimana kalo kita hanya simulasi numerik.. dan.. dan jika suatu saat kita bisa mengetahui sifat dari keberadaan kita, apakah kita kemudian akan mencari cara untuk berkomunikasi dengan peradaban yang menciptakan kita, si empunya komputer?menemukan sesuatu Yang Maha Besar itu?” ocehnya semakin menggebu.
Acuh, aku malah sibuk dengan teropongku.
“ckck must be hard to find,cal…By the way, ini acrux dan gacrux bukan sih? Aku bingung ngebedainnya …redup banget”
“mana sini liat? Hm..hm…tetottttt!salah! itumah cha alpha, cha beta… kamu gagal”  jawabnya terlihat asal
Chamaeleon? Kok jauh amat..Ayodong cal...aku ga bodoh-bodoh amat deh kayaknya”  Tuturku teramat ragu.
Ia terdiam beberapa detik. Lalu melanjutkan..  
 Bukan. bukan untuk menyamakan presepsi tentang rasi, melainkan untuk kembali meracau dengan pikirannya sendiri..

“Coba deh al kamu pikirin…siapa pun yang membuat simulasi alam semesta kita ini, mungkin juga telah menciptakan alam semesta yang lainnya, dan mungkin kita harus berusaha berkomunikasi dengan mereka. The question is…Dapatkah kita berkomunikasi dengan mahluk hidup di semesta lain jika mereka berada di platform yang sama?another paralel universe? Or maybe, the extraterestrial? Kayak Hawking dan Carl theory’

Kali itu aku yang hanya bisa melongo. Memperhatikan mata hitam bulatnya yang bercahaya, berkedap kedip, selalu penuh semangat ketika berbicara tentang semua yang terdengar tak masuk akal dan diluar batas semesta. Harus aku akui, aku telah berkali kali jatuh pada mata itu, pada sosok itu. Dan berkali juga aku berdoa, semoga kejatuhanku ini tak membawa serta kehancuran untukku.
“hey al…”
“al…”
“alexa arsyila… hoiiiii!!!”

Teriakannya cukup keras di kupingku, hingga aku sadar pada waktu itu aku hanya diam memandangi wajahnya yang berjarak kira kira 15 centi dariku, melamun jauh entah kemana. Malu, aku pun cepat cepat berkilah,
“Haa? Kenapa? Ehmm sory sory aku tadi rada ngantuk jadi ga fokus deh..hm..udah deh ah ngomongnya, makin lama kamu makin kedengeran gesrek..si carming yang jatuh cinta sama misteri alam semesta..”
“hahaha sialan…eh baru juga jam 10.. biasanya sampe tengah malem kamu kuat, kamu mau aku anterin pulang al? makan dulu yuk, mama masak roti pita sama lasagna ala ala greek gitu.. apa ya namanya, moussaka kalo ga salah” ajak cal yang setengah bangun dari posisi telentangnya.
Sambil ikut bangun dan mencoba berdiri, aku pun meng iyakan tawaran cal sambil lalu berucap, “ayook ayoook! asikk makan gratis”
        
            Cal sering bercerita tentang keluarganya. Ia berasal dari keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, dan mengagungkan peradaban masa silam. Ibunya seorang arkeolog yang pernah menetap untuk studinya di Yunani. Ayahnya seorang peniliti yang sering melakukan proyek sekuensing DNA mahluk hidup. Ia ceritakan, kedua orangtuanya merupakan penggemar mitologi greek beserta kerajaan olympusnya. Karna itu, anak semata wayangnya itu dinamakan Anthony calix yang artinya ‘yang tampan; tak ternilai’.

            Bicara tentang tampan, secara fisik cal bukan hanya mewakili arti dari namanya itu. Melainkan bisa ku katakan bahwa pastilah berbagai macam bumbu bumbu rahasia telah ditambahkan sewaktu penciptaan cal dimulai dulu. Bukan hanya tampan dengan rambut hitam cepak yang berpadu padan dengan mata hitam pekat yang bulat,..namun semua hal pada cal tampak senada, sebuah harmoni yang pas dengan struktur tubuh dan segala kharisma yang dimilikinya.

Ya, cal selalu punya itu…’sesuatu’ yang membuatnya tampak istimewa, megah, layaknya huruf dengan caps lock dan border di awal paragraf baru.

              Awal paragraf aku dengan dia dimulai di tempat kami berkuliah dulu. Disalah satu perguruan negri terkemuka, tepatnya ketika pesta inagurasi mahasiswa baru di akhir tahun pertama. Cal dan aku sama-sama mahasiswa semester 2 pada waktu itu, namun dengan subjek dan kasta yang berbeda.
Cal adalah mahasiswa FMIPA, yang kemudian menjuruskan dirinya pada Fisika kuantum dan teori astronomi. Sementara aku masuk Fakultas Kebumian, yang dijuruskan ke dalam bidang Teknik metalurgi. Seperti yang telah kukatakan, cal termasuk junior yang cukup termasyur dan namanya cukup dikenal seantero kampus waktu itu.
Teman-temannya populer, ia rajin ikut kegiatan ekstrakulikuler kampus seperti pecinta alam  dan himpunan astronomi amatir kampus yang kebanyakan berisi anak-anak orang kaya. Namanya tercatat sebagai peserta termuda olimpiade fisika nasional yang mewakili kampus secara berkala, dan banyak ku dengar berita bahwa dia telah digadang-gadang juga diincar beberapa keorganisasian mahasiswa yang ingin merekrut kader-kader baru berpotensi seperti cal.

Sementara aku adalah si gadis biasa.

              Dan si gadis biasa ini sialnya punya teman sekamar asrama yang bawel dan manja nya minta ampun, yang seakan-sangat-butuh-pengakuan-dalam pergaulan-, namanya Nina. Ya, meski jarak rumah dan kampusku tak terlalu jauh, namun sistem dikampusku menerapkan seluruh mahasiswanya harus menetap di asrama kecuali pada weekend atau hari libur. Nina merengek-rengek padaku agar aku ikut pesta inagurasi yang akan diadakan di salah satu café&bar dekat kampus. Ia ingin aku pergi, katanya agar aku tau dunia lain selain kamar asrama yang bau busuk ini, dan aku sangat perlu keluar sesekali agar aku bisa bersosialisasi dengan teman seangkatan lain yang berbeda jurusan. Namun, menurutku alasan utama nina sebenarnya ialah ia sangat membutuhkanku agar aku bisa dijadikan pengingat nya, sebagai batu baterai cadangannya, sebagai orang yang akan menjadi penunjuk jalannya jikalau nanti malam ia kebanyakan minum dan tak bisa pulang ke asrama ini lagi dengan selamat.
            Aku akhirnya pergi dengan Nina ke café&bar yang bernama la vanille itu. Letaknya dekat dengan danau, dihubungkan dengan jembatan besar yang dihiasi lampu-lampu kuning bulat yang mencolok di tiap sisinya.
Begitu sampai, nina langsung mengajakku berkeliling. Tidak butuh waktu lama, ia dengan mudah menemukan teman-teman se-Perguruannya. Sibuk membicarakan si ini dan si anu. Mendadak jadi fashion police yang seakan sedang live report,  menjudge bagus atau buruk dandanan tiap orang yang datang. Namun  sedihnya, mereka hanya bisa menatap iri jika melihat rombongan para selebritis kampus yang populer dan lebih rupawan. Tetapi ada satu pengecualian. Ada satu yang tampak berbeda. Ada Satu diantara para selebritis kampus itu, yang sepertinya sangat dikagumi oleh Nina dan teman-temannya.

“yang pake kemeja kotak dan kaos nyantai, diri deket  meja bar itu loh al.. dia itu sefakultas sama gue..ganteng banget kan? namanya tony..dia tuh paling berkharisma dan orangnya ramah bgt al, ga kayak yang lainnya..inceran cewe-cewe MIPA bgt lah pokoknya”
Jelas Nina kepadaku sambil sedikit menunjuk ke arah laki-laki yang dimaksud.
“oooh” jawabku, sama sekali tak tertarik.

             Ada pada saat aku benar-benar muak. Benar-benar mati kutu sepertinya waktu itu. Dengan tempat yang penuh sesak, musik yang terlalu bising, asap rokok, bau alcohol yang terlalu sengak, obrolan mengenai ‘orang lain’ yang membosankan, dan yang paling buruk adalah…aku merasa sama sekali bukan bagian dari pesta.
Aku pun menghambur ke luar, aku bilang pada nina butuh udara. Ingin rasanya aku balik pulang ke asrama, namun rasanya tak adil jika aku meninggalkan nina hanya karna aku tidak tahan pada diriku sendiri yang tak bisa bersosialisasi dan melebur dengan baik di acara itu.
              Kaki ku pun terus berjalan sambil menapaki jejeran kayu milik jembatan besar penghubung antara la vanille dan danau kecil hijau di sisi lainnya, meski banyak muda-mudi mencuri curi kesempatan untuk bermesraan di pinggiran jembatan, dapat ku akui bahwa sorotan lampu kuning terang yang sedang dikerubungi beberapa laron kala itu menggelitik ku untuk tidak cepat berpaling dari tempat itu. Aku pun berhenti sejenak, menikmati pantulan air danau yang tenang sambil mengintip langit malam yang ajaibnya juga seperti sedang tersenyum cerah hari itu.

“kenapa kok keluar dari bar? cari apa disini?” sapa seorang laki-laki yang tiba-tiba mengisi tempat disebelahku, berdiri canggung, ingin tau, namun terlihat tak tergesa-gesa.
Aku menoleh pelan, lalu menjawab,
 “itu bukan tempat dimana seharusnya aku berada. Itu..hm.. bukan aku. bu-kan-a-ku-ba-nget.”
“lalu buat apa susah susah datang kesini?” muncul pertanyaan lainnya menyembul dari bibir sang laki-laki yang sedang asik meneguk sebotol soft drink.
Aku pun tertawa kecil, kemudian melanjutkan,
 “ha ha.. hanya ingin membuktikan bahwa teori ku memang benar. Aku bukan seperti orang-orang yang disana. Tidak perlu berpura-pura menjadi mereka”
Ia kemudian tertawa. Warna bibirnya semakin terlihat mengkilap waktu ia tertawa.
Lalu aku yang balik bertanya,
“kamu kenapa keluar?”
“sama sepertimu. Sepertinya disana bukan tempatku” jawabnya.
Pertanyaan yang sama kemudian aku lemparkan lagi,
“lalu kenapa susah susah datang kesini?”

Ia diam. Lalu hanya membalasku dengan senyum simpulnya.

“iseng mungkin, membunuh waktu, terhipnotis ajakan teman, ya semacam itulah.....anyway, hey coba liat itu” jawabnya santai sembari menunjuk kearah langit, kearah bulan.
Kemudian ia melanjutkan,  “fase dimana bulan terletak dibelakang bumi, jika ditinjau dari matahari...panggilan sayangnya ialah si purnama…biasanya siklus nya 29.5 hari dan ditanggal tanggal segini nih 14,15 akan terlihat  paling bagus...paling bulat..dan malam ini…fiuhh berkilau sekali…like a diamond in the sky
Aku kemudian bersuara, “cycles of the lunar phases…cant agree more..its so damn beautiful
“yep”
“namaku Anthony calix. Orang-orang panggil aku Tony atau Anton..terserah deh mau panggil apa”
“kalo calix nya gapernah ada yang panggil?haha, yaudah aku panggilnya cal aja deh, boleh? oiya Aku al..alexa arsyila tepatnya”
Masih mengamati kecantikan dari sang bulannya malam itu, ia pun menyimpulkan
“hem..cal dan al…ya..ya…boleh juga”
            Itulah kali pertama aku bertemu cal. Jujur, ia tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Bisa kukatakan bahwa benar, ia memang berbeda.
Lantas sejak itu, urusanku dengan cal tidak kelar begitu saja, seperti masih ada buntut yang panjang. Seolah ia selalu berada dalam zona bermainku, seolah aku selalu begitu saja tak sengaja berada di lingkaran orbitnya. Selalu saja, seperti telah ditakdirkan…selalu ada pertemuan yang tak terduga.

             Seperti saat aku bertemu dengannya di salah satu bukit tercantik kota yang letaknya di kawasan konservasi hutan hujan tropis, yakni Bukit Aster. Bukit aster merupakan salah satu bukit dengan vegetasi dan pemandangan terbaik. Jalanan keatas puncak bukit ini harus melalui hutan yang didominasi oleh pepohonan besar berlayer. Seperti pohon kanopi, pinus, tanaman-tanaman epifit seperti anggrek hutan, lumut, paku-pakuan dan bahkan di sekitar puncak bukit, jika tiba musim tertentu seluruh lapisan bukitnya akan ditumbuhi oleh bunga-bunga aster dari berbagai jenis, Sekilas bukit itu akan terlihat seperti hamparan permadani berwarna warni.
             Bukit aster memang merupakan destinasi utama ku untuk menghabiskan akhir pekan pada waktu itu. Kala itu aku sedang bersama dengan beberapa kawan-kawan klub pecinta alam SMA ku dulu. Sewaktu SMA aku memang salah satu anggota pecinta alam yang paling gemar hunting sunset. Namun begitu kuliah, aku enggan ikut kelompok pecinta alam kampus lagi. Selera ‘mengikuti kegiatan nonakademis’ seketika luntur dariku semenjak duduk di bangku perkuliahan. Mungkin karna belum menemukan kecocokan.
Secara tidak sengaja, di puncak bukit aster pada sore hari itu, aku bertemu lagi dengan cal yang waktu itu sedang mengadakan acara ‘star party’ bersama kawan-kawan himpunan astronom amatirnya.
“al?”
“loh cal?”
“berapa besar probabilitasnya aku bisa bertemu kamu di tempat ini? bahkan dikampus pun, aku jarang sekali liat kamu lewat hahaha” tanya cal yang kala itu baru saja tiba diatas bukit, sambil terlihat membawa peralatan teleskop, matras, dan beberapa keperluan perbintangannya.
“nol persen. Kamu ngapain disini, cal?”
Ia hanya mengangkat bahu, dan menunjukkan peralatan teleskop refraktor nya, yang belakangan baru aku tau kalau teleskop itu memang khusus untuk pengamatan objek-objek planetari.
“oh..ya ya..i remember you..the lunar boy
Cal pun tertawa kecil, ia menjelaskan “kebetulan star party di kelompok kecil aku ini dimajuin al, alasannya karna menurut kalender astronomi, hari ini bakalan ada hujan meteor Geminid yang diperkirakan  ada 120 meteor per jam yang terlihat nantinya. Sekalian kita juga mau ngamatin mars sama Jupiter yang ikut terlihat malam ini.. nah terus kamu sendiri ngapain disini?”

               Pertanyaan cal sore itu, aku jawab dengan menunjuk gumpalan warna langit yang ikut berpendar kuning, merah, jingga, goresan-goresan pastel indah yang menyertai momen tenggelamnya sang ratu. Momen yang berlangsung hanya dalam hitungan menit, yang berhasil mengakrabkan bahkan mengawinkan siang dan malam. Momen yang selalu memberikan rasa damai bagi ia yang tak pernah luput memperhatikannya menghilang dibalik kaki langit.
Lalu aku pun gantian menjelaskan,
“Aku kangen sama senja..dulu aku sering hunting senja terbagus sama temen-temenku. Tapi mungkin karna satu dan lain hal, kegiatan melegakan ini bisa jadi sangat langka buatku. Mumpung sekarang aku lagi reunian kecil-kecilan sama klub pecinta alam SMA ku dulu…”
Seketika cal pun bertanya,
“Pecinta alam? Kenapa ga gabung yang ada di kampus juga?kita bisa berpetualang dan cari senja bareng kalo gitu al”
“mungkin…hm…nanti kali ya cal..aku kurang akrab sama anak-anak dikampus”
“Hm..begitu ya, Oh ya al..setelah senja ini, apa kamu langsung mau pulang sama temen-temenmu?”
“ya sepertinya begitu”
“would you stay here for a few hours maybe?I’ll show you something” pinta cal sambil mulai membongkar peralatan teleskopnya.
Dan ia pun menambahkan “tenang…akan aku antar pulang dengan selamat”.

               Saat itu jujur aku memang masih ingin bersama cal, penasaran akan pesona malam yang selalu ia agung-agungkan. Aku pun izin pulang belakangan dengan teman-temanku, sebelum bergabung dengan cal dan kelima teman-temannya(semuanya laki laki) yang sedang asyik merakit teleskop, dan memilah milah letak terbaik untuk memindai langit pada malam hari. Begitu malam tiba, teleskop-teleskop mulai di hadapkan ke langit luas. Kilatan-kilatan hujan meteor satu persatu mulai terlihat dengan mata telanjang, dan bahkan lebih jelas terlihat lagi jika menggunakan teleskop.
              Cal tidak seperti yang lain, iya membawaku menjauh dari teleskop-teleskop. Ia mengajakku berbaring menghadap langit yang dipenuhi dengan benda-benda angkasa yang berkilauan, disampingnya, diatas matras yang telah ia gelar. Cal mengeluarkan ipodnya, dan meletakkan headphones nya di salah satu lubang telingaku. Samar-samar terdengar alunan lagu yang tak asing untukku..

Fly me to the moon
And Let me play among the stars
Let me see what spring is like
On Jupiter and Mars”
Lantas aku langsung berpaling kepada cal yang mulutnya terlihat komat-kamit mengikuti lirik dari lagu Frank Sinatra tersebut.
“ini salah satu lagu kesukaanku cal” ucapku kepadanya
Cal pun bereaksi, “pas banget dong… aku suka banget al, liat langit malam yang sedang sesumbar kayak sekarang ini.. yang kalau digambarkan sebagai wanita...dia itu wanita yang eksotis,sexy dan penuh dengan misteri…”
Ia pun menambahkan dengan ikut bernyanyi, “Fill my heart with song and let me sing forever more…You are all I long for all I worship and adore
“dan kamu  telah jatuh cinta..cinta mati matian sama apa yang ada di langit sana” kataku menaggapi
“cinta sekaligus merasa terintimidasi al..”
“loh kenapa?” tanyaku penasaran
“Kita selalu merasa bahwa kita mahluk paling canggih dan sempurna, raja di muka bumi ini. Kita hanya tau apa yang kita punya di bumi, selalu merasa besar, tamak, sombong, tapi kita tak pernah  benar-benar tau apa yang ada diluar planet kita ini, kita tak pernah sadar bahwa kita sebagai manusia hanyalah mahluk paling buruk. Kita cuma jago kandang. ”
Aku terdiam, masih  mendengarkan luapan pikiran cal.
“Dan kenyataannya, aku merasa bahwa kita ini kecil. Amat kecil. Aku merasa terintimidasi oleh langit. Bayangkan, peradaban kita harus menempuh ratusan  milyar tahun cahaya untuk bisa melihat seberapa besar galaksi-galaksi di alam semesta. Sebagai contoh, bagi manusia, bumi itu sudah tampak besar tapi bumi yang besar ini ternyata belum ada apa-apanya.  Matahari, yakni bintang yang terdekat dengan bumi itu bisa menampung 1 juta bumi di dalamnya. Dan ternyata si matahari ini hanya satu dari milyaran bintang yang membentuk galaksi kita yang bernama Bima Sakti. Yang lebih menarik lagi, bima sakti hanya satu galaksi dari 40 galaksi dalam sebuah kelompok yang terdiri dari galaksi-galaksi dekat, atau galaksi lokal. Mungkin ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan galaksi tersebar diluar sana. Mungkin juga ada alam semesta lain, semesta paralel…Kita itu cuma serupa debu…sesuatu yang besar, amat besar tersebar di luar sana..kita tak pernah tau, tapi salahkah aku jika aku selalu ingin tau, debu-debu ini sedang bertandang kerumah siapa”
Aku pun menjawab,
“ya…aku ngerti kok…Tapi perasaan kecil yang kamu rasakan ini cuma akan selalu membuatmu kecil.. begini gampangnya, entah kenapa aku selalu merasa diriku ini cuma satu diantara jutaan,miyaran,triliunan apapun itu yang ada diluar sana. Aku bukan jiplakan, aku bukan mahluk hasil renkarnasi, dan diantara semua semesta baik itu tunggal, seri, ataupun paralel ini..aku ya cuma satu. Bayangkan, betapa ‘debu yang amat sangat penting’ aku ini..dan aku tau, hal yang lebih besar telah mengizinkan ‘si debu penting ini’ bertandang ke rumahnya.. betapa memang harus ada rasa rendah diri dan syukur atas semua keindahan ini..meski sayang, mungkin kita hanya berputar-putar di suatu ruangan, kebingungan.. sebelum ada pemecahannya, maka yang bisa kita rasakan sekarang persis seperti akhir lagu sinatra ini… In other words, please be 
true…In other words, I love you wahai tuan si pemilik rumah Yang Maha Besar”
Cal tertawa mendengar pernyataanku.
Ia lalu berkata,
“al”
“ya?”
“kamu cewek pertama yang mau ngerumput sama aku malem-malem kayak gini.. kamu juga cewek pertama yang aku kenalkan dengan dunia favoritku.. we should talk like this next time, we should be best buddy after this”

            Malam itu aku tau, bahwa memang ada hal lain mengenai presepsiku tentang cal. Wajahnya yang lembut, matanya yang hitam, isi dalam kepalanya yang seakan tak mau diam, membuat sosok cal berkelebatan di pikiranku sejak saat itu, membuat hatiku dihujani  ribuan meteor ketika menatapnya. Entah mengapa cal menjadi seolah lebih terang, menyilaukan daripada semua bintang yang aku lihat malam itu.
Jika cal telah jatuh cinta dengan langit, maka pastilah langit telah mengoper rasa itu kepadaku. Kali itu, aku telah melesat jauh, jauh mengitari semua nebula-nebula dan dimensi semesta.. lalu dengan cepat, secepat cahaya...begitu saja aku bisa jatuh. Bukannya takut, namun aku menikmatinya. Karna aku jatuh untuk orang yang benar aku kagumi. Jatuh untuk Cal.

            Sejak saat itu, cal dan aku resmi menjadi sahabat yang lengketnya melibihi lem aibon sekalipun. Banyak hal berubah semenjak aku dekat dengan cal. Dikampus, aku bukan lagi orang yang malas bergaul. Aku diajak dan langsung direkrut masuk ke klub pecinta alam, pada jam-jam tertentu cal akan membawaku ikut makan siang dengan rombongan teman-temannya, Jika ada acara seru cal selalu menyeret ku untuk turut serta di dalamnya. Dulu teman-temanku dikampus sangat terbatas bisa aku hitung dengan jari, itupun hanya disekitaran fakultasku. Tapi sekarang, mendadak orang-orang di kampus mulai mengenal namaku, mulai sadar bahwa aku ini tidak ‘invisible’, mulai menyukai ku karna mereka baru tahu kalau aku juga tak kalah asik dan berpengetahuan luas. 
           Namun seiring bertambahnya teman, bertambah pula haters dan orang-orang yang iri kepadaku, terutama ialah para perempuan pengagum cal yang sepertinya telah diam diam berdoa sejak lama agar bisa dekat dengan cal. Aku mungkin dianggap menjadi kecoa penghalang. Salah satunya Nina, yang sehari tiga kali,seperti minum obat bertanya berbagai macam hal tentang cal. Dan betapa ia akan memberikan apapun kepadaku, untuk bisa jadi ‘the secret agent’ untuknya, mata-mata tentang semua urusan pribadi nya Cal. Jelas aku menolaknya.

           Menurut pengamatanku sendiri, cal juga bukanlah orang yang mati rasa. Ia sadar, ia telah menjadi sosok yang diperhatikan banyak orang, terutama perempuan. Namun ia juga bukan orang yang mudah ditebak isi hatinya. Yang aku tau, cal memang tak pernah mengacuhkan orang lain. Ia selalu menjadi pria ramah, sopan, berusaha mengingat semua nama orang-orang yang dikenalnya baik,  maupun yang tidak terlalu ia kenal. Tetapi cal, selalu menjadi cal. Ia selalu menjadi rumah  dengan pintu yang selalu terkunci. Semua orang dipersilahkan masuk sampai halaman depan, tapi tak pernah diizinkan tau ada apa dibalik pintu itu.

            Beruntungnya aku ialah, banyak hal yang bisa dengan mudah cal ceritakan kepadaku. Hal-hal yang ia bilang, tak pernah ia ceritakan  kepada orang lain sebelumnya. Aku juga begitu kepadanya. Aku bercerita banyak tentang hal-hal pribadiku. Tentang aku yang merupakan anak satu-satunya, tentang keluargaku, tentang seorang sosok idola dalam hidupku yaitu ayahku.
           Ayahku dulunya juga menyukai hal-hal mengenai benda langit dalam bentuk dongeng masa kecil dengan dihiasi oleh cerita-ceritanya yang magis tentang angkasa luas. Ia lulusan sastra yang berkerja menjadi dosen biasa, sedangkan ibuku hanya pegawai sipil pemerintahan. Aku ini termasuk golongan mahluk pemimpi, bermimpi menjadi penerus ayahku untuk bisa hidup senang dengan berbekal keindahan sastra yang selalu mengilhami seluruh kepercayaan ayahku selama ini. Ayahku itu seperti hidup di dunia yang bukan berasaskan realitas. Aku gemar sekali menulis, bercerita, melahap semua buku  sejak usia muda. Namun, rupanya segala mimpi itu harus karam ditengah jalan.
           Sejak akhir masa SMA, ayahku itu divonis mengidap penyakit Delirium. Derilium adalah keadaan konfusional akut , yang gejalanya yaitu sulit berkonsentrasi, mengalami disorientasi waktu dan tempat, delusi dan halusinasi tak karuan. Sejak saat itu ekonomi keluarga ku memburuk karna ayahku butuh biaya besar, butuh pengasuh dari rumah sakit, dan butuh berobat jalan. Ayah yang tadinya adalah pedoman hidupku, medadak menjadi orang yang sama sekali tak bisa kukenali dan tak bisa kunikmati imaji nya lagi. Target kuliahku pun berganti 180 derajat, ibuku tak mengizinkanku masuk jurusan sasta. Ia menginginkanku bisa menjadi orang yang finansialnya kuat, yang bisa membangun keluarga ku lagi menjadi utuh seperti dulu, jadilah aku berakhir di jurusan yang sekarang aku erami, jadilah aku menjadi orang yang nantinya akan mengeruk kekayaan alam bumiku yang indah ini. Mungkin karna hal itu, aku menjadi orang yang mulai menyebalkan, yang menarik diri dari lingkungan. Api yang dulunya menyala nyala di mataku, sekarang seolah padam disapu air hujan. Ayah yang dulunya idolaku , sekarang bak lilin rapuh yang telah disulap menjadi asap.

              Dan ketika seluruh cerita hidupku selesai dikisahkan, cal bukannya ikut sedih atau bermuram durja bersamaku, cal berkata bahwa ia justru iri kepadaku. Ia iri pada si manusia penuh mimpi. Disaat satu-satunya hal yang dipercayai manusia modern abad ini adalah angka, aku masih bisa percaya kekuatan lain yang bertajuk imajinasi. Ketika keanehan deret fibonachi menjadi perdebatan diantara para ilmuan dan arkeolog zaman ini, mungkin aku tak akan mempermasalahkannya selagi aku masih bisa merubah deret fibonachi menjadi sesuatu yang menari-menari di pikiranku. Dan cal, memang selalu menjadi cal. Ia selalu menjadi si-pembesar-hati. Cal selalu berhasil membuatku merasa tetap menjadi orang paling satu-satunya di muka bumi ini.
              Cal tak pernah menyarankanku untuk mematikan semua mimpi itu. Ia tetap berada disampingku, walaupun mungkin saja peranku tak berarti banyak di kehidupannya. Namun entah mengapa, seperti menjejak kembaran matahari yang telah lama hilang, aku merasa telah diciptakan oleh unsur-unsur kimiawi yang sama dengan cal. Aku menemukan matahariku pada cal. Kami cocok akan berbagai hal. Selera film, musik, pandangan akan waktu, masa lalu, masa depan, tentang segala misteri dan hal magis, tentang cara lebih mengenal diri sendiri sebagaimana kita mengenal alam di sekitar kita, hobi dan kebencian tentang menghabiskan waktu di mall, dan masih banyak lagi yang tak bisa ku gambarkan. Cal juga termasuk daftar orang favoritku karna bisa menghabiskan berjam-jam melahap deretan huruf di toko buku. Ia mengenalkanku pada berbagai macam hal, termasuk dengan toko buku tua yang sangat cocok untuk kantong mahasiswa kering seperti aku ini. Ya, D’boekenwinkel. 
…………………………………….........xxxxx……………………………………………………
               
               Akupun beranjak dari sepenggal kalimat yang ada di novel ini, cuplikan demi cuplikan kejadian masa lalu akan cal terus saja muncul di ruang antar otakku.
Lalu aku berlanjut ke halaman lainnya, berusaha fokus, melupakan cal sejenak. Namun beberapa kata dalam novel ini, entah bagaimana terus saja menjadi pemicu ingatanku kembali kepada laki-laki yang dulu aku sayangi itu.
“Life could do nothing for her, beyond giving time for a better preparation for death.”

Kali ini, memoriku kembali terbang jauh. Tepat di masa aku dan cal harus terus melanjutkan hidup kami masing-masing. Memilih, Memutuskan, Mengambil pilihan yang tepat.

            Setelah 3 tahun aku dan cal menjalin persahabatan, melakukan hampir setiap hal bersama, tiba-tiba saja aku merasa disadarkan bahwa aku masih hidup di dunia yang bernama realita.
Kami lulus bersama di tahun ke-empat kuliah, satu bulan sebelum hari kelulusan, cal ternyata mendapatkan beasiswa dari Cambridge University untuk bisa melanjutkan program magister dalam studi Astrophysics. Ia mendapatkannya dari essay yang rajin ia kirimkan ke beberapa program beasiswa lokal maupun internasional. Lagipula tak heran karna selain sering ikut olimpiade fisika, cal juga termasuk beberapa orang yang lulus sarjana dengan berpredikat cumlaude di kampusku. Itu artinya, setelah hari kelulusan cal akan resmi menetap di Inggris. Jujur, kabar itu bagaikan sambaran petir untukku. 
            Aku selalu senang dan bangga dengan semua prestasi dan pencapaian cal, namun untuk kali ini aku tidak siap untuk berpisah jarak dengannya. Selain itu, ada rasa iri yang besar terhadapnya. Ia selalu dengan mudah mendapatkan apa yang orang lain impi-impikan. Sementara untuk seorang aku, aku seperti berada di persimpangan. Setelah aku lulus, secara otomatis aku akan menyandang gelar insinyur. Namun hatiku tetap ingin kembali ke seni menulis. Tetapi aku sadar bahwa ada beban berat yang harus aku tanggung, aku harus segera membantu keluargaku berbenah agar keadaan ekonomi kami tak lagi porak-poranda. Mungkin bagi cal gampang saja memilih meneruskan studi di subjek yang ia sukai atau memulai menjadi sarjana yang berstatus sebagai seorang pekerja. Lain hal nya denganku. Aku harus melepaskan hal-hal yang aku sukai, aku harus mengubur mimpi-mimpiku.

             Setelah hari wisuda berakhir, tak sampai seminggu cal sudah harus pergi ke Cambridge. Program Magisternya akan segera menyusul dengan terlebih dahulu ia harus mengikuti matrikulasi beberapa minggu. Entah kenapa, kepergian cal menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan untukku. Aku tak henti menangis semalam suntuk, tidak menjawab puluhan telfon dan pesan singkatnya, enggan datang pada hari keberangkatannya. Terdengar sangat kekanak-kanakan mungkin….tapi aku tau, cal pun pasti sadar bahwa ia telah sangat mengecewakan aku karna pergi begitu saja ber mil-mil jauhnya, meninggalkan aku yang selama ini sangatlah bergantung kepadanya.

             Belum kering air mataku menangisi kepergian cal, tak beberapa lama, kepergian lainnya pun seketika menyusul. Selang seminggu keberangkatan cal, ayahku juga ikut pergi. Namun bedanya, ia tak akan pernah kembali lagi. Kekuatan ayahku telah mencapai batasnya, delirium yang beberapa tahun sudah berhasil menggrogoti kehidupannya seakan sudah mengeluarkan jurus terbaiknya. Delirium yang ayahku derita memang sangat menyeramkan. Penyakit itu terus menerus mengguncang, membolak balikan otak dan pikiran ayahku.
Sewaktu tahun-tahun pertama ia menderita penyakit itu, aku benar-benar ikut merasa tersiksa melihatnya. Ayahku sering sekali mengalami halusinasi, delusi, mimpi-mimpi yang mengerikan yang tak bisa ia bedakan apakah itu sungguhan atau tidak.

“Ketika aku menutup mataku aku akan merasa dinding-dinding di sekitarku lumer seperti es yang mencair..namun bukan seperti warna es, tapi sesuatu yang hitam pekat. Yang tumpah mengenai tubuku.. entah kenapa aku merasa tubuhku ini mati rasa..seketika dinding yang lumer itu merayapi seluruh badan ku dari kaki hingga kepala. Dan aku sadar bahwa si hitam pekat ini seperti coro dalam jumlah ribuan. Ia masuk lewat hidung, kuping, mulut, menggigiti seluruh pembuluh darahku sampai darahku muncrat kemana-mana..ini seperti nyata, aku tak bohong”

Seperti itulah tuturnya waktu penyakit ini baru-baru muncul dan terdeteksi. 
           
                Aku tak sampai hati melihat wajahnya yang pucat, ketakutan, seperti dihantui oleh sesuatu tiap ia bangun dari tidurnya. Ia selalu terlihat kelelahan, paranoid, entah apa yang ada dipikirannya. Tak jarang ia begitu ketakutan hingga didapati sedang terkencing-kencing, bahkan buang air besar di celana. Karna itu, ayahku menanggung derita yang luar biasa. Aku bisa melihat kesakitan nya yang terpancar dari matanya. Semenjak ayahku sakit, aku tak bisa lagi berkomunikasi dengannya secara fasih. Ia menghabiskan sisa harinya dikamar, ditopang oleh infus berisi cairan. Obat penenang menjadi senjata andalan, juga pispot yang selalu berada tak jauh dari tempatnya tidur. Delirium itu memakan otak ayahku perlahan, hingga akhirnya terciptalah infeksi disana-sana seiring dengan bertumbuhnya benalu itu. Dan disinilah seharusnya aku lega, karna akhirnya ayahku tidak akan merasa kesakitan lagi. Namun, ayahku itu selalu jadi sosok idolaku sejak kecil. Entah mengapa,  aku seperti kehilangan dua pedoman hidup, arah kiblatku, tempat aku berpegangan.
Cal dan ayahku, tak bisa kumaafkan keduanya pergi meninggalkanku saat itu, di waktu yang hampir bersamaan.

            Setelah kepergian ayahku, aku mengurung diri dikamar selama beberapa hari, tak mau makan atau melakukan aktivitas lain. Entah bingung, entah sedih, atau kecewa seluruh perasaan itu tumpah ruwah berkoloni menjadi satu dan foila! terciptalah perang dunia yang luar biasa berkecamuk di dalam hatiku. Pikiranku stuck, stress berat.
Keadaan itu membuat ibuku sangat khawatir, ia mencari beberapa cara membujukku keluar namun ia pun sadar semuanya hanya akan sia sia. Ia pun kehabisan akal, dan terpaksa menggunakan jurus terakhirnya…yaitu meminta bantuan cal.

             Entah bagaimana ceritanya, cal kembali lagi ke Indonesia. Khusus untukku. Ia sangat khawatir dengan keadaanku, ingin mencari berbagai penghiburan untukku. Namun sayap sayapku terlanjur patah, aku pun tak bergeming walau sebenarnya aku sedikit senang karna tak menyangka bahwa cal seperhatian itu kepadaku, sampai  mau meninggalkan kuliahnya dulu dan kembali ke Indonesia hanya untuk menengok keadaanku.
Tapi cal pun tak semudah itu dapat menyembuhkan luka hatiku begitu saja. Hingga akhirnya ia kehabisan akal, dan mulai mencetuskan ide-ide gilanya.
Ia ingin aku ikut ke Inggris beberapa hari. Ia janji akan menanggung segala biaya plus menjaga diriku sepenuhnya. Katanya sebagai hadiah liburan untukku. Tadinya aku enggan, namun karna bujukan semua orang termasuk ibukku, akupun akhirnya mengiyakan ajakannya.

              Aku pergi dengan cal ke Cambridge dengan pesawat ke London yang mendarat di bandara Heathrow dengan terlebih dulu transit di Abu Dhabi. Dari London kami naik bis antar kota untuk bisa sampai ke Cambridge yang berjarak kurang lebih 90 km dari kota London. Cal mengajakku menginap sementara di Brooklands guest house yang letaknya di Cherry Hinton Road, karna ia bilang sungkan untuk membawaku serta ke tempat ia belajar sekaligus tinggal di King’s collage.
Ia memesan satu kamar kecil berisi satu kasur yang terkesan sangat privat. Selama perjalanan yang memakan waktu berbelas jam itu, cal dan aku tak banyak mengeluarkan kata. Baru setelah sampai di kamar dan bersiap untuk tidur, kami kembali luber dalam suatu perbincangan yang singkat.

“gapapa kan ya al kita tidur satu kasur? Uangku lagi seret nih al maaf ya”
“santai aja” balasku singkat
Cal pun ikut terlentang denganku di kasur yang sama, berbaring disebelahnya aku kemudian berbisik pelan,
“kamu jadi repot..maaf ya cal”
“kamu jangan sedih lagi” balasnya pelan
Aku pun tak sadar telah meneteskan beberapa bulir air mata.
“tuhkan..sendu terus..besok kita jalan jalan ya” ucapnya manis
“iyaa” jawabku singkat sambil mengelap sisa bulir air di pelipis mata.

            Keesokan paginya cal mengajakku mengitari kota Cambridge dengan sepeda pinjaman . Yang menarik adalah kotanya sangat sepi dan santai apalagi bertepatan dengan musim gugur dimana jalanan nya dipenuhi daun mapple berwarna merah dan kuning bertebaran. Cal menggunakan student cardnya sebagai free pass untuk dapat membawaku masuk ke beberapa bangunan Universitas Cambridge yang tersebar di berbagai sudut kota. Dapat kuakui, beberapa bangunan sangat indah dan mirip seperti yang ada di kartu pos, khas dengan gaya gothic abad pertengahan.
             Cal membawaku mengitari sepertiga kota dengan berlayar memakai perahu kecil diatas river cam yang melintasi mathematical bridge. Jembatan yang menjadi ikon kota itu katanya didesain sendiri oleh Sir Isaac Newton. Tak heran konstruksinya kusut dan rumit seperti rumus matematika.
Cal banyak menjelaskan berbagai hal kepadaku mengenai bangunan, Sejarah dan keunikan 31 collage yang ada di Cambridge. Namun aku lebih banyak diam, dengan seksama mendengarkan cal seakan ia sang pemandu wisataku.
              Dari cam river, cal mengenalkanku pada Fitzwilliam Museum yang berisi banyak barang seni, artefak bahkan manuskrip iluminati. Lalu selepas siang dengan menaiki double decker bus, ia membawaku ke Massachusetts Avenue , tempat salah satu toko piringan hitam yang bernama Weirdo Records berada.
“kamu harus cek yang satu ini al…The name says it all.  Weirdo Records has a huge selection of weird CDs and vinyl. It's such a refreshing experience, some album that's really going to be different and cool”  
Tuturnya kepadaku sebelum masuk membuka pintu masuk toko tersebut.
Toko music itu ukurannya tak begitu besar, namun sangat padat dengan dekorasi yang cukup aneh,berwarna warni untuk ukuran sebuah toko kaset. 
            Aku mengamati beberapa cover album vynil yang terpajang tak ber-urutan. Ada yang menamai diri mereka ‘Fat Creeps’ dengan cover merah dan beberapa gaya foto box tersusun tak wajar, cover selanjutnya dua orang negro dengan gaya rapi yang sama, dan tangan yang telungkup seperti orang minta-minta menamai diri mereka 'Bob&Genes'. Ada juga beberapa kumpulan hewan kelinci dan bebek menusuk boneka salju hingga berdarah-darah berjudul ‘it just got weird : winter are fallen’. Ada draculla music cabinet, Afreaka waka waka demon fuzz, skinny bones dj, bahasa antah berantah yang ditato di payudara seorang wanita 80an,  ada pula gambar perempuan telanjang sedang asyik menghisap sisha bertuliskan ‘in an Egyptian garden’
Seakan semua orang yang membuat rekaman itu telah gila, dan entah kenapa aku jadi ingin sekali tertawa melihat koleksi-koleksi aneh itu.
Cal yang melihatku terhibur pun ikut mengembangkan senyum di bibirnya.
Kemudian ia bertanya kepadaku,
“eh al mau ikut denger vinyl pilihanku ini ga di ruang pemutaran? Ini beberapa yang normal yang juga dijual disini.. marilyn mccoo sama billy davis yang nyanyi”
“okey, boleh”

Ruang pemutaran piringan hitam itu cenderung sempit. Hanya seukuran warung telepon dengan tembok berwallpaper bunga-bunga biru. Sejenak, lagu itu pun berkumandang 
‘Baby come as you are with just your heart…And I'll take you in
You're rejected and hurt….To me you're worth what you have within
Now I don't need no superstar…..Cause I'll accept you as you are
You won't be denied cause I'm satisfied….With the love that you can inspire
You don't have to be a star, baby, to be in my show

Aku sadar betul lirik lagu itu ditunjukkan kepadaku, aku menoleh ke arah cal. Ia lalu tersenyum dan ikut bernyanyi 
Somebody nobody knows could steal the tune…That you want to hear
So stop your running around cause now you've found…What was cloudy is clear
There'll be no cheering from the crowd…Just two hearts beating out loud
There'll be no parades, no tv or stage….Only me till your dying day
You don't have to be a star, baby, to be in my show’

Sejurus kemudian ia mengelus rambutku yang tergerai sebahu. Aku kembali menangis, dan bilang kepadanya, 
“aku mau jadi gila aja cal kayak orang-orang di album itu..mereka kayak ga ada beban hidupnya”
Ia hanya mengangguk dan berkata “well, lets go crazy then!”

            Setelah lagu itu selesai diputar, cal menantang aku untuk balapan makan es krim dengannya di JP liks ice cream. Kami memesan ukuran jumbo dengan tiga scopes berbeda rasa, harus dihabiskan dalam waktu kurang dari 5 menit. Aku fix kalah sekaligus menderita brainfrezze. Kemudian kami membeli hotdog di perjalanan kembali ke king street.
Cal menginstruksikan agar kami turun di king street dan jalan kaki menuju Park Parade yang ada di ujung Jesus Green. Kami tiba di park parade sekitar pukul 5 sore, disana sedang ada semacam pasar malam lengkap dengan mainan ekstremnya.
             Bianglala biasanya jadi favoritku, namun cal menantangku naik roller coaster  yang bergambar red devils di depannya dengan sama sekali tidak berpegangan tangan. Kami taruhan, yang paling lama berhasil lepas tangan berhak ditraktir minum sepuasnya di Brew House. Kami pun sepakat. Kami memulainya dengan menaikki roller coaster paling depan, mencoba tak berpegangan pada besi-besi yang tampak rapuh dan goyah. Kami berayun pelan untuk kemudian diputar, diguncang, dibolak balik belasan meter diatas tanah. Masih berusaha bertaruh, aku menguatkan diri, mencoba bertahan , melepaskan segala hingga lega dengan berteriak sekencang kencangnya di kereta yang bernama setan merah itu.
Aku pun kalah lagi dalam pertaruhan itu. Cal lah yang berhasil tak berpegangan pada apapun dari awal hingga akhir permainan.
Setelah aku dan cal bermain, berkeliling dan menikmati lampu-lampu cantik yang ada di parade itu, barulah aku menepati janji untuk mentraktir cal di bar king street yaitu brew house.
            Cal memesan beer satu pitcher dan segelas bourbon. Ia tau bahwa aku tak pernah minum sebelumnya, tapi ia membujukku untuk mau mencoba nya sedikit saja.
Aku pun tak banyak pikir dan langsung saja minum sisa beer dari gelas cal. Ternyata rasanya tak terlalu buruk, sejurus kemudian aku menuangkannya lagi ke gelas milik cal lalu langsung menegaknya seperti minum es teh manis jika sedang kehausan. Cal pun tertawa melihatku terlalu bersemangat.
“yaampun al pelan pelan..hahaha”
Aku juga mencoba wiski bourbon sedikit dari cal,  rasanya lebih aneh dan sama sekali tak ada manis-manisnya di lidahku. Entah bagaimana, kami minum dengan bersemangat sekali malam itu. Beer yang kami beli satu pitcher pun habis begitu saja, padahal waktu kuliah dulu aku benci bau minuman beralkohol. Kepalaku sudah cukup pusing waktu itu. 
“cal...ini berlebihan gak sih?”
“nyoba itu gaada salahnya..apalagi kalo ternyata suka…you.are.leaving.your.comfort.zone.alexa.bzzzzt.welcome.to.the.world”  jawab cal sambil menirukan suara ala robot yang seperti baru terkena setrum.
“eh iya ini aku yang bayar ya” ucapnya lagi sesaat kemudian
“loh kok gitu?kan aku yang kalah taruan” tanyaku heran
“aku yang bayar untuk keberanian kamu mencoba okey? By the way, ayo kita akhiri hari ini dengan sesuatu yang menyegarkan”
“ngapain tuh?kita ga ada agenda ngeliat bintang?” tanyaku penasaran
“kali ini ngeliat tubuh sexy nya michael angelo, yuk kita caw!”
            Sesuatu yang tampaknya sangat aneh sedang direncanakan oleh cal karna sepanjang jalan dari bar ke tempat yang ia tuju itu, cal terus saja cengengesan dan bertanya apakah aku merasa kedinginan dengan cuaca malam itu.
Kami berjalan santai melewati jesus green tanpa sadar bahwa kala itu sudah sangat malam, dan suasana sangat sepi. Beberapa menit kemudian kita sampai di sebuah pagar tinggi terkunci, yang bertuliskan ‘jesus green swimming pool closed’.
“cal kita mau ngapain sih?”
“berenang”
“hah? Tutup gitu ga liat?”
“katanya mau gila gilaan..manjat dong, yuk”
             Cal membantuku untuk bisa masuk ke dalam kolam renang, lalu kemudian ia memanjat belakangan. Suasana di kolam renang umum itu sepi sekali, tak ada yang menjaga dan lampunya pun beberapa sudah tak lagi menerangi kolam. Cal tiba-tiba langsung membuka seluruh pakaiannya, hanya bersisa celana dalam saja. Sejurus kemudian ia lompat ke dalam air  tanpa berkata apapun terlebih dahulu denganku. Aku kaget sekaligus heran.
Seiring dengan bunyi air yang berkecipakan, ia berteriak kearahku,
“al oiii…sini deeeh asik banget al sumpah…aku tunjukin kamu sesuatu al”
“lha terus aku gimana?pake daleman aja?kan dingin”
“cobain dulu…come on, ga akan nyesel”

             Aku pun berfikir lama. Perlahan lahan melepaskan baju, celana, tank top, bahkan bra yang aku kenakan, hanya menyisakan celana dalam saja. Dengan segera..sambil menutupi kedua dadaku, aku langsung menceburkan diri ke dalam air.
Cal membantuku menuju ketengah kolam. Ia melihatku dengan tak henti hentinya tersenyum lebar.
 “sini deh liat ke langit al..dari sini bagus banget kan. Lebih hidup lagi kalau kita liat pantulannya sambil nyelam ke bawah air..walaupun cuma sesaat tapi refleksinya hebat”
Cal lalu membenamkan dirinya ke dalam air, lalu iya muncul lagi di permukaan. Ia tersenyum tipis kepadaku, lalu aku pun berkata singkat dan ketus
“jangan ngintip!”
Ia hanya tertawa. Lalu berucap “iya tuan putri”
Lalu giliran aku yang membenamkan diriku ke dalam air. Sampai beberapa kali hingga mataku pedih. Cal yang berada disampingku menyarankan sesuatu kepadaku
“al..keluarin aja, di bawah sana kamu bisa teriak teriak sesukamu, kamu bisa luapin kemarahan kamu..tanpa ada yang bisa protes”
“kenapa kamu ngomong gitu?”
“karena kamu masih belum terlihat puas”

               Aku merasa tertohok oleh kata-kata itu. Aku memang belum meluapkan apa-apa semenjak kepergian ayahku. Aku belum pernah bercerita tentang segela keresahan dan keluh kesahku kepada cal. Mataku pun tiba-tiba basah, dihujani bulir bulir kesedihan yang turun serupa badai dari ujung mataku. Sambil masih terisak, sontak saja aku merasa muak dan ingin segera memuntahkan semua hal yang aku rasakan..
“aku bingung cal…aku benci selamat tinggal. aku mau berkarir sendiri dengan tulisan-tulisanku dan gamau mengubur satu-satunya passion dalam hidupku…tapi aku bingung, hutang-hutang keluargaku menumpuk…aku takut…kamu, ayah, satu-satu pergi ninggalin aku...dan kenapa ayah pergi dengan kesakitan yang luar biasa itu cal..ga meninggalkan ruang buat memoriku sama dia dulu..ayah pergi tanpa mengingat aku…apa itu ga menyakitkan juga untukku...kenapa, kenapa hidup gabisa berbuat adil..kenapa hidup gabisa ngelakuin apa-apa untuk aku, selain menggertak dan menakutiku seperti ini”
Seakan air mataku terjun hebat melebur bersama ribuan molekul kaporit yang mengapung-apung santai di permukaan kolam. Dadaku sesak dan berkecamuk, dingin yang kurasakan malam itu tak berarti apa-apa dibandingkan keinginan besarku untuk berteriak, bersiap untuk meledak.
               Cal tak berkata apa-apa, ia hanya mendekatiku dengan tatapannya yang nanar dan seperti ingin ikut bergabung merasakan juga derita yang tengah aku rasakan. Ia kemudian memelukku di dalam air itu, menghapus air mataku perlahan. 
Aku diam sama sekali tak berkutik, sadar jika kulit kita bergesekan, dekapannya terasa besar mampu meraup seluruh tubuhku yang sedang tak berbusana waktu itu.
Detik selanjutnya, aku sudah bisa merasakan hangat bibirnya yang mendarat halus di permukaan bibirku. Cal menciumku dengan sangat pelan, dan hati-hati. Ia memegangi kedua pipiku seakan aku manusia yang terbuat dari porcelain. Sambil memejamkan kedua matanya, lambat laun ia terus mengulum bibirku yang basah. Basah karna air kolam yang tercampur dengan air mata. Menghasilkan rasa asin, manis, padat dan intim. Ia berhasil membuatku tenggelam dalam perasaan lega. Lega yang luar biasa. 
Setelah cukup lama bibir kami bertautan, ia membuka matanya dan berbisik kepadaku pelan,
“Please al...aku sayang sama kamu,  kamu tau kan Cambridge itu juga impianku. Newton dengan semua gravitasinya, Rutherford yang berhasil misahin atom ditempat ini, Hawking with his expanding universe theory. Aku ingin jadi orang-orang hebat itu, tapi gimana bisa aku ninggalin kamu nantinya dengan keadaan seperti ini..”
Aku terdiam, lalu bertanya dengan sedikit ragu “kamu beneran sayang sama aku?”
“Always. Jangan pernah lupa, kamu itu satu-satunya, wanita hebat, harus bisa berdiri sendiri..keep moving forward.. hidup ini memang ga pernah adil dipandang dari sisi manapun. Dari sejak penciptaan bumi dimulai kita selaku mahluk hidup selalu ditakdirkan beradaptasi, berevolusi. Apapun keadaannya, kita harus kuat. Jika ini terasa seperti neraka buat kita, mari kita nikmati neraka ini bersama-sama… kamu cantik al, please jangan nangis lagi ”
Cal sukses memotivasi diriku malam itu. Tanpa banyak kata, kali itu aku langsung mencium bibirnya  yang berjarak hanya lima centi dari bibirku. Dengan pintu terbuka, ia menerimanya. Menerimaku sebagai supernova nya yang sedang berusaha mengumpulkan sisa-sisa debu dan gas untuk dapat bersinar kembali.
             
               Malam itu kami kembali ke guest house tempat kami menginap. Entah apa yang terjadi namun semenjak kejadian di kolam renang itu, sepertinya hasrat kami antara satu sama lain begitu saja memuncak. Sampai dikamar, kami pun melanjutkan ciuman kami yang terputus sejak di kolam renang. Kali ini mungkin sedikit tergesa gesa dan dibumbui nafsu. Dari posisi berdiri hingga diatas kasur dimana aku duduk diatas pangkuan cal, ciuman itu semakin menjadi-jadi. Kami beralih ke pangkal kuping, leher, bahkan dada. Sibuk menggigit dan mengecup. Cal mulai melucuti pakaiannku, begitupun aku bergantian melucuti pakaiannya. Hingga tak ada sehelai benang pun menutupi tubuh kami berdua. Cal punya badan yang tidak terlalu berotot namun tak teralu kurus, yang menurutku sangat pas untuk ukuran laki-laki. Cal pun tampak takjub begitu melihat seluruh lekuk tubuhku yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Kami bercinta malam itu. Karna sama-sama baru pertama kali, kami melakukannya dengan lembut dan pelan. Namun bagiku tetap terasa indah. Cal sangatlah hebat, kami tenggelam bersama sama di lautan penuh kenikmatan. Bagaikan mendapati aku berada didalam dirinya, dan ia berada didalam diriku. Seperti tinta dalam air ataupun sebaliknya.
            Keesokan harinya kami bangun kesiangan dengan tubuh lelah namun perasaan yang puas dan lega. Cal masih terus memelukku dari belakang, ia menciumi rambut dan pundakku. Aku tak pernah menyangka cal akan berlaku seolah ia juga telah jatuh kepadaku. Seakan cuma aku seseorang yang bisa membuka pintu yang terkunci dalam dirinya. Diperbolehkan tau ada apa didalamnya. 
           Hari-hari selanjutnya, kami habiskan dengan mengujungi Folk museum yang unik. Naik ke atas menara gereja great st.mary untuk menikmati pemandangan seluruh penjuru kota juga langit yang indah. Bersepeda santai di sekitaran st john collage dan bridge of sighs, juga tak lupa mampir ke botanic garden. Melihat peradaban Artic dan Antartika di Scott Polar Research Institute. Menemani cal mencari berbagai reverensi di Cambridge public library. Makan malam di restoran kontemporer luar biasa yang arsitekturnya dipadu padankan dengan pub klasik bernama ‘the cambridge’. Dan banyak hal lagi yang kami lakukan bersama di kota pelajar itu.
3 hari yang aku habiskan bersama cal pun terasa sangat singkat. Cal tidak bisa berlama-lama menemaniku karna ia harus segera mengejar kuliah untuk penyusunan disertasinya nanti, untuk bisa mendapatkan gelar MSc (Master of Science) yang sangat ia damba dambakan. Pada hari terakhir, aku diantar oleh cal hingga ke bandara Heathrow London. Sulit bagiku untuk kembali lagi ke dunia nyata, aku ingin tetap menjejak mimpi bersamanya. 
Aku pun berpesan kepadanya,
“cal, usahakan kalau lagi ga sibuk, kirim surat atau telfon ya”
Ia hanya menjawab “iya al”
Kemudian aku berucap lagi “I just want you to stay…this time, don’t let me go”
Ia hanya tersenyum tipis dan berkata “I wont”.

……………………………………............xxxxxxxxxxxxxxxx…………………………………………
             
               Hari itu menjadi hari terakhir aku bertemu dengan cal. Kami terpaut waktu,benua, dan kesibukan masing-masing. Pada bulan-bulan pertama cal masih sering menelfon atau mengirimi ku surat, kami bercerita tentang banyak hal. Termasuk tentang bagaimana kelanjutan hidupku di Indonesia. 
Aku resmi menjadi seorang insinyur di salah satu perusahaan tambang swasta, gajinya lumayan besar untuk bisa membayar hutang keluargaku. Jam kerjanya sangat ekstrem, tapi aku menemukan cara untuk bisa menyempatkan sedikit waktu untuk tetap menulis cerita demi cerita. Seringkali aku rindu pada cal, namun seperti kata-katanya, aku harus kuat dulu untuk bisa berdiri sendiri tak tergantung oleh kehadiran orang lain sebagai penopangku.
              Hingga tiba hari dimana ia tak lagi pernah mengabariku. Nomor telfonnya tak aktif, sepeti ingin menghindar. Aku sungkan jika harus bertanya kepada mama atau papa nya cal, jadi aku hanya menunggu dan terus menunggu.
Surat terakhir yang ia kimirkan kepadaku berisi tentang informasi bahwa aku diizinkan menjadi penulis tetap untuk mengisi kolom cerpen suatu koran nasional tiap akhir pekan dengan honor yang lumayan. 

               Cal lah yang mendaftarkan ku ke redaksi koran tersebut, ia mengirimkan beberapa karya tulis lengkap dengan biodataku. Cerpen dan karya tulisku diapresiasi besar dan mendapat pujian dari sang kepala redaksi. Hal itu tentu sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan untukku, seperti mendapat durian runtuh. Entah mengapa, cal selalu saja berhasil menjadi si pembesar hati dan si prince carming yang dermawan untukku. Cal memang selalu menjadi cal. Ia seperti bongkahan lem yang sedang berusaha merapihkan satu persatu pecahan kaca yang berserakan di lantai rumahku.

Disuratnya yang terakhir cal bertutur,
“Sesuatu yang bukan hanya hampa dalam diammu
Namun riuh dan manis kukecap dalam bahagiamu
Mungkin bukan hanya bulan, bahkan alam semesta
Ikut berfluktuasi tak tentu arah, terjebak, lalu buyar
Jika tau seberapa besar potensi pada dirimu
Jangan takut..aku akan selalu ada… mengorbit didekatmu
Mengamatimu…mendoakanmu..
Jangan merasa kecil jika sekarang cahaya bulan lebih terang dari dirimu
Merekalah pantulan semangatmu
Aku akan selalu ada…mengorbit didekatmu..
Sampai suatu saat, kamu berhenti percaya bahwa aku pernah ada.
SELAMAT YA ALEXA…I’m proud of you... doakan juga aku bisa benar-benar mewujudkan mimpiku”

              Setelah itu cal benar-benar tak pernah menghubungiku lagi. Kami benar-benar hilang kontak.
Sungguh menyakitkan bagiku jika mengingat lagi memori-memoriku tentangnya dulu. Namun semua itu begitu saja berlalu, berlangsung dalam keadaan hampa, hingga 5 tahun setelahnya aku tak pernah mendengar kabar lagi darinya.
Tapi jika boleh jujur, hatiku sampai saat ini belum bisa berganti. Aku kira dulu, aku telah berhasil menjadi kunci untuk membuka pintu pada cal yang tertutup itu, aku kira ia juga menyimpan perasaan yang sama denganku. Aku masih menginginkan malam yang sama, walaupun ia tidak lagi ada dalam genggamanku. Inilah hal yang aku sadari betul namun paling ku takutkan sekaligus aku benci dari dulu.
Bahwa, perasaan ku pada cal menetap.  Bahwa, perasaannya kepadaku hanya sementara.
…………………………………………..xxxxxxxxx………………………………………………
            Aku pun menutup lembaran novel karya jane austin tersebut. Membaca di d’boekenwinkel malah tambah mengingatkan atmosfer keberadaan kami berdua dulu. Beberapa hari ini aku memang terus menerus kepikiran akan cal. Memang sudah lama sekali aku tidak bertemu sekaligus berkomunikasi dengannya, kurang lebih 5 tahun. Namun aku masih punya perasaan yang sama yang diam-diam tak pernah mau aku hapus, meski aku tau mungkin akan sulit juga untuk menyimpannya.
            Dari kabar yang aku tau, cal telah lulus untuk program magister nya dan mendapat gelar MSc, ia masih menetap di inggris untuk meneruskan program doctoral nya. Sambil menyusun research proposal dan list of publications nya, dia mengajar jadi dosen tambahan di kampusnya mengambil subjek ‘Hukum gravitasi yang berlaku dalam mekanisme lubang hitam’, ya semacam itulah. Semua kabar itu aku dengar dari orangtua nya cal, namun aku tak pernah sampai hati untuk mau menghubunginya lagi duluan. 
Cal selama ini seperti tak mau terlacak olehku, ia seakan mau menghilangkan jejaknya dariku, sengaja tak pernah mau menjawab telfon dan pesanku. Entah apa yang salah, apa yang ia rasakan, sudahkan ia benar-benar muak denganku hingga tak pernah mau berhubungan denganku lagi…
Cal….selalukah ia menjadi sebegini terkunci…
            Dan tepat 3 hari yang lalu, mama nya cal menelfon kerumahku. Ia bilang 5 hari lagi cal akan wisuda untuk gelar doktoralnya. Mama nya mengajakku turut serta untuk datang ke Cambridge bersama-sama dengannya. Terakhir ia bilang jika cal lah menyuruhnya untuk menghubungiku, mengundangku datang di acara paling bersejarahnya itu. Meski kaget, aku masih sedikit ragu dan aku bilang untuk pikir-pikir dulu apakah aku ada pekerjaan atau tidak untuk 5 hari kedepan itu.
Sebenarnya aku sedang dapat giliran off  kerja hingga 2 minggu kedepan, dan kesibukan ku menulis untuk rubrik-rubrik di koran maupun majalah pun sedang tidak terlalu mendesak atau sedang tidak dikejar deadline. Namun aku ragu, siapkah diriku untuk bertemu cal lagi? Siapkah aku ketika masih ada serpihan-serpihan harapan mengenai hubunganku dengannya nanti? Siapkah hatiku ini untuk benar-benar jatuh menuju kehancuran, bertransformasi menjadi meteor yang kepanasan dan sendirian..Siapkah?
            Aku tau mestinya aku tidak menjadi pengecut, banyak pertanyaan dibenakku yang menuntut jawaban dari cal. Jawaban dan kepastian mengenai semua yang pernah kita rasakan, terutama yang aku rasakan. Aku pun mengambil sebuah keputusan. Aku harus pergi ke Cambridge besok dan hadir pada perayaan wisudanya lusa. Sejurus kemudian, aku pun keluar dari toko buku D’boekenwinkel , segera bergegas pulang kerumah untuk persiapanku menuju kota itu lagi, Cambridge.

            Aku ke Cambridge tidak bersama-sama dengan mama atau papanya cal. Aku menyusul sendirian pagi-pagi sekali, dengan pesawat yang dijadwal sampai di bandara heathrow menjelang sore harinya. Lalu ku teruskan dengan naik kereta ke Cambridge sebelum akhirnya sampai penginapan untuk menaruh barang-barangku terlebih dahulu. Aku menginap di du vin hotel&bistro yang letaknya di Trumpington Street , tak jauh dari kampusnya cal. Acara wisuda cal berlangsung di Senate House, tak jauh dari kings collage. Namun aku melewatkannya, karna acaranya sudah selesai sejak sore hari.
           Tetapi orangtua cal mengabariku bahwa aku masih belum ketinggalan untuk hadir di acara perayaan wisudanya malam ini, mereka akan turut mengundang kerabat juga teman-temannya cal. Mereka sudah membooking satu dining room, meja bar di Browns Bar & Brasserie yang letaknya hanya beberapa blok dari hotel tempat aku menginap.

Aku pun segera bersiap siap untuk menghadiri acara itu dengan memilih memakai setelan seamed dress berwarna cream, dan black ankle boots with zip. Bertemu lagi setelah 5 tahun menghilang bukan perkara mudah untukku. Untuk itu aku resah untuk menata ulang tatanan rambut juga dandanan ku. Aku ingin tampak sederhana namun terkesan berbeda ketika bertemu dengannya lagi nanti.
            Pukul 8 malam aku pun bergegas ke restoran itu dengan berjalan kaki lewat beberapa gang saja. Jujur, aku sangat amat berdebar,  menyiapkan kata-kata apa yang akan aku ucapkan nantinya.
Begitu sampai, aku pun cukup terkejut karna ternyata suasana di tempat dining room yang dibooking oleh cal cukup ramai. Aku pun melangkah masuk dengan perlahan. Di meja dekat sudut jendela aku melihat mama dan papanya cal yang sedang asik berbincang yang nampaknya dengan salah satu kerabat keluarga mereka.

Meja-meja lainnya kebanyakan diisi oleh orang-orang sebaya dengan orang tua cal. Aku lalu mengedarkan mataku ke segala penjuru ruangan, dan disitulah aku dapati ia duduk di kursi besar biru, dikelilingi oleh teman-teman kuliahnya. Ia masih tampak sama,  rambutnya terlihat agak panjang, mata hitam bulatnya masih berpendar mempesona seperti yang dulu, bibirnya keliatan semakin merah serasi berpadu dengan kulitnya yang kuning langsat.
                Ia menikmati makanan dipiringnya, sambil sesekali bercanda dengan para kawan dan rekanannya . Lalu disitu pula aku sadari, bahwa memang benar ia sudah punya kehidupan sendiri disini. Disamping ia duduk, terlihat seorang perempuan putih, berambut lurus panjang, berwajah agak sedikit mandarin, wanita itu terus memperhatikan dan mengirimkan sorot mata yang teduh, tertarik, kagum, dan jatuh. Aku tau persis tatapan itu. Tatapan orang yang sedang dirundung asmara. 
Sejurus kemudian aku melihat si perempuan itu dihujani kecupan di tangan dan di pipi.
Aku tau sekarang. Aku tau. Aku yakin. Inilah hari H itu, hari besar, kepastian akan kehancuran hatiku. 
“al ? alexa arsyila? “ suara itu memanggilku. Ia tampak  kaget sekali melihatku
Aku juga tak bisa begitu saja menyembunyikan keterkejutan atas apa yang aku liat barusan. Aku pun masih berdiri tertegun dan terdiam.
“yaampun al kamu dateng juga ternyata..si..sini al mari duduk”
Suara itu bergetar dan bingung, namun tetap mengajakku bergabung dengannya. Aku belum bisa berkata apa-apa, sama-sama bingung. Namun aku sadar bahwa banyak orang yang sedang memperhatikanku saat itu, aku pun berusaha bersikap normal.
“ha..hay.. selamat ya doktor anthony calix” ucapku juga sedikit terbata-bata.
Aku pun mengambil kursi disebelah cal, yang berhadapan dengan wanita yang diciumnyal tadi. Spontan, aku pun terus memperhatikannnya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Cal sadar akan kekikukan suasana yang tiba-tiba tercipta itu. ia langsung mengambil inisiatif tanpa pikir panjang.
“al, ini kenalkan namanya Julie. Dia orang Indonesia juga yang sedang mengambil studi s2 nya tentang art disini”
Si wanita itu pun senatiasa menjulurkan tangannya kepadaku, dibarengi dengan tanganku yang juga menyambutnya.
“kenalkan saya Julie.. kamu alexa ya? Cal sering bercerita tentang kamu sebelumnya”
Aku cuma mengangguk pelan..namun ada rasa jengkel tertinggal karna kudengar tadi ia juga memanggil dengan sebutan ‘Cal’ ? memanggil Anthony calix ku dengan ‘cal’? Itu adalah panggilan kesayanganku kepadanya, dan cuma aku satu-satunya yang memanggilnya begitu sebelumnya. Tak percaya seseorang telah membajaknya dariku.

            Cal terlihat memperhatikan perubahan air mukaku. Ia tau, bahwa rautku yang tegang dan berkerut tanda bahwa terlalu banyak hal sedang menggelayuti pikiranku kala itu. Suasana yang awkward pun tak mudah begitu saja mencair di meja itu. Beberapa saat setelah makan dengan hening yang lama, cal pun mengajakku untuk keluar sejenak. Ia kemudian meminta izin untuk pamit sebentar, membawa serta diriku yang sedang tak berselera diajak bicara.
            Aku dan cal terus berjalan melalui beberapa bangunan tua, diantaranya Peterhouse dan Pembroke Collage. Cal sama sekali tak berkata-kata, kami berjalan dalam diam melewati silver street dan queens front. Ia membawaku ke arah river cam. Dari queens collage, kita memang bisa melihat mathematical bridge kepunyaan Isaac newton itu dengan jelas.
Namun aku heran, apa sebenarnya tujuan cal mengajakku ketempat itu lagi? Apa yang hendak ia bicarakan denganku?
Akhirnya kami berhenti di atas jembatan tersebut. Aku langsung duduk bertengger diatas batang-batang kayunya, sedangkan cal yang sejak tadi kuperhatikan hanya sibuk melihat pantulan diatas air sungai dibawah tempat kami berpijak.

“jadi teknologi di Inggris sekarang ini kembali lagi ke zaman batu ya? Sampai sampai buat berkomunikasi pakai surat atau telfon aja susah” sindiranku memecah kesunyian
Cal masih terus diam tak merespon.
“gaenak banget ya rasanya nunggu..apalagi rasanya jadi bego dan percaya…sama sebuah pengharapan palsu”
Masih belum di respon.
Membuatku semakin ingin mencecar tak karuan.      
“cewek tadi itu pacar mu ya?”
“oiya…kok dia ikut-ikutan panggil kamu cal juga sih?”
“udah berapa kali gonta ganti pacar disini? pantes aja betah”
“hey cal”
“CAL!”
Teriakanku cukup terdengar kencang malam itu, hingga memaksa cal akhirnya bersuara
“kamu mengharapkan jawaban apa sebenarnya dari aku?”
Mendengar pernyataan itu, tentu saja volume dalam intonasi suaraku enggan aku turunkan,
“aku berhak atas semua jawaban itu! kamu itu selalu aja membingungkan buat aku, cal…. Apa kamu ga pernah sadar, kalo aku ini bener-bener udah jatuh cinta sama kamu” 
Tak terasa mataku pun mulai basah, cal masih saja belum terlihat mau mengeluarkan pembelaan-pembelaannya. Beberapa tetes air mata pelan pelan jatuh, mendarat di pipi dan bibirku.
Dengan segala keberanian dan rasa penguatan, aku pun melanjutkan bicara kepadanya
“apa kamu ga pernah sadar, kalau aku ini sejak dulu selalu mengagumi senyumanmu diam-diam.. aku menjadi yang terdekat denganmu selama ini, mau tak mau aku pun terus menerus mengamatimu, mendoakanmu, menyebut kamu disetiap mimpi-mimpiku..kamu seperti virus yang menjajahi isi pikiranku, cal..seringkali aku menangis, merindukan, menahan sakit sendiri diam-diam jika aku ingat semua tentang dirimu.. tentang hal-hal hebat yang terjadi diantara kita.. aku mengagumi kamu diatas apapun cal..bahkan setelah 5 tahun kamu  berusaha menghindar dariku, dalam hati ini aku selalu memaafkanmu dan berharap punya kesempatan bisa memutar kembali waktu..agar aku bisa merasakan seperti dulu lagi…seperti waktu pertama kali kita bertemu, waktu kamu membuka kesempatan agar bisa mengenalmu lebih dekat lagi” 
Masih dengan mata yang berkaca-kaca aku melanjutkan perlahan,
“aku sudah mengorbankan banyak hal untuk kamu..termasuk harga diriku”
Cal mengusapkan tangannya yang dingin di kedua pipiku. Ia paling benci melihat aku menangis. Dengan lirih, ia pun berucap
“kamu kira aku ga mengorbankan banyak hal untuk kamu juga al..”
Ia kemudian menjelaskan dengan intonasi normal, tidak seperti aku yang menggebu-gebu tadi
“aku justru sadar betul akan hal itu al..dari dulu, aku sudah tau kau ini terlalu meng-agung agungkan diriku..pada kenyataannya, aku ini cuma orang biasa. Bukan anaknya zeuz atau hasil persilangan cyclopse. Aku cuma pintar karna belajar dari buku atau orang-orang sekitar. Justru kamulah orang yang aku lihat punya banyak potensi. Jujur, aku mungkin bukan orang yang gampang ditebak, aku menghidar jika mulai berbicara tentang hati dan perasaan.. sekali lagi, aku ini cuma orang biasa al. aku menikmati peranku yang seperti ini”
Aku masih belum mengerti atas semua penjelasan dari cal, namun rupanya ia belum selesai disitu. Ia kemudian melanjutkan,
“aku memang suka dan nyaman ketika berada didekatmu..kamu satu-satunya sahabatku yang selain cerdas, juga memiliki banyak kesamaan dalam hal selera denganku. Aku juga sayang, sangat sayang kepadamu. Tapi dalam porsi ingin melindungi kamu sebagai sahabat yang sudah kuanggap saudaraku sendiri.. aku gamau al hal buruk terjadi kepadamu, makanya aku mau menggembalikan semangatmu lagi waktu itu. karna nya, aku melakukan semua hal itu kepadamu. Membawamu ke inggris, memberikan semua penghiburan untukmu, mencarikan kamu jalan untuk tetap bisa mewujudkan mimpi kamu, apa yang kamu mau…menyiapkan skenario terbaik…bahkan untuk berpura-pura mencintaimu, memberikan kamu harapan…juga sangat menyakitkan rasanya untukku...Bagaimanapun caranya harus kucoba untuk membantu kamu kembali bangkit, al..dan setelah kamu cukup kuat untuk bisa berjinjit sendiri seperti sekarang ini..aku, kamu, kita harus terus melanjutkan hidup kita masing-masing..membuat planning dan pilihan-pilihan kedepan”

Masih terasa janggal, aku pun kemudian bertanya padanya
“lalu kenapa kamu harus menghindar seakan aku ini momok menakutkan untuk kamu? Dan kenapa ga bilang aja dari dulu sebelum semuanya jadi rumit kayak sekarang ini?”
Ia mengeluarkan senyumannya yang tipis, lalu menjawab
“aku ga mau terus-terusan berpura-pura..nyakitin kamu lebih dalam dari ini..aku bukannya menghilang, menghindar atau apalah yang kamu bilang itu..aku cuma ingin memberikan ruang buat kita. Aku fokus sama kuliahku disini, dan kamu juga fokus sama pekerjaan kamu di Indonesia..aku juga ingin, kamu bisa membangun kehidupan kamu yang menyenangkan tanpa harus ada aku yang selalu membuat hati kamu teraduk aduk setiap kamu ingat..aku sengaja membuat kamu lupa dan mati rasa,  aku ingin kamu menemukan seseorang yang lebih dari aku diluar sana al…setelah program doctoral ini selesai pun rencananya aku ingin langsung bertemu denganmu lagi..seperti dulu, sebagai seorang sahabat dan orang yang tepat untuk diajak bertukar pikiran…tapi maafkan aku sekali lagi, aku tak tau bahwa perasaanmu itu kepadaku hingga kini masih menetap”

Entah mengapa, aku seperti ingin saja ambruk seketika itu. Tanpa pikir panjang aku pun langsung mendekap cal, memeluknya seakan telah terlalu lama menginginkannya. Cal turut mendekapku erat, membiarkanku puas terisak dalam genggaman dada dan lengannya.

“bukannya aku ga pernah suka sama kamu al..kamu cukup manis, unik, cerdas, lucu, selera nya keren…aku juga sempat merasakan hal yang kamu rasakan itu, tapi entah kenapa rasa itu ga bertahan lama.. aku ini seorang observer al, aku terus menerus mencari dan ga pernah puas sama sesuatu yang pasti.. sedangkan kamu itu, terlalu pasti untukku”

Aku pun jadi ikut tersenyum getir mendengarnya berkata begitu.

                Setelah aku sudah puas menangis, meratap dan tersedu, aku mulai bisa menata kembali tiap keping perasaanku. Memang aneh kedengarannya, walaupun setengah hatiku sakit mendengarkan segala penjelasan yang selama ini cuma bisa aku tebak dan kira-kira, namun setengah nya lagi ternyata lega. Tak seperti yang aku bayangkan semula, semua hal yang dilakukan cal selama ini ternyata cukup masuk logika. Meski jauh dari harapanku sebelumnya.  Justru ia yang selama ini memperhatikan ku diam-diam. Mencoba membantuku keluar dari lubang penjara yang kubangun sendiri. Membuatku berfikir juga berkaca. Bahwa memang benar aku tidak boleh terlalu larut dan tergantung pada seseorang. Aku harus kuat berdiri dengan kaki-kakiku sendiri.

Setelahnya, kami bercerita banyak diatas jembatan itu sambil duduk di atas konstruksi kayu tua nya. Menceritakan tentang hal-hal apa saja yang terjadi di kehidupan kami berdua masing-masing. Tentang cerita-cerita yang kami lewatkan selama 5 tahun berlalu dan tak jumpa.
“kamu tau kenapa aku ngajak kamu ngobrol disini al?”
“iya..kenapa sih?”
“soalnya dulu, ditempat ini waktu kita main puting melewati river cam ini, kamu keliatan masih murung banget..disitu juga aku janji kalo aku bakalan berusaha ngerubah kamu jadi orang yang lebih tough..gimana pun sulitnya, kayak mathematical bridge ini..segimanapun rumitnya, pasti bakal ada pemecahannya”
Aku pun tertawa kecil “jadi sekarang kamu setelah jadi doktor, punya bakat jadi filsuf  juga ya hahaha”
“yeeh..sialan”
“eh cal, aku pengen nanya sesuatu”
“apa?”
“kenapa pada akhirnya kamu memilih si Julie itu?”
Cal tertawa terbahak bahak. Ia lalu meledekku
“kamu cemburu ya?hahaha..gini loh al, aku memang suka dan sedang menjalin hubungan sama Julie sekarang..tapi, ini pure ga ada planning apapun untuk kedepan..aku suka sama dia karna seperti yang aku bilang tadi, aku ini seorang observer yang selalu ingin mencari, dan menariknya dia…dia itu juga seperti sesuatu yang ga pasti. Dia ga begitu mengagumi ku, bahkan aku yang seringkali capek ngejar-ngejar dia.. aku  gabisa nebak-nebak apa yang ada di pikirannya..dan kita berdua itu bener bener kayak ujung kutub magnet. Sama sekali berbeda. Selera, latar belakang, cara pandang, kesibukan..Tapi entah kenapa, justru itu yang aku cari al. Aku cinta akan adanya perbedaan. Mungkin nanti jika aku dan dia sudah hidup lama bersama, kita ga akan pernah bosen satu sama lain. Karna pasti banyak dinamika yang bisa ditemui disana. Mungkin nantinya…aku akan pulang kerumah bicara tentang singularitas ataupun distorsi ruang dan waktu, sementara dia akan sibuk memasak sambil bercerita pula tentang lukisan aliran kubisme nya yang baru ia buat…dan kita pasti akan sama-sama semakin penasaran antara satu sama lain..
dia itu kayak langit al..misterius, selalu menimbulkan pertanyaan..dan membuat aku tertantang untuk bisa mencari cari apa yang ada didalamnya.. berbeda dengan kamu yang selalu ada disitu seperti senja yang setia menunggu si malam yang ternyata brengsek ini hahaha… kamu sadar gak, mungkin ini memang sudah hukum semesta. Kita yang ada didalamnya selalu saja mencintai sesuatu yang susah untuk didapatkan, mengagungkan berbagai misteri untuk bisa dipecahkan”.
Aku terdiam selama beberapa menit. Kepalaku seketika aku senderkan ke salah satu pundak cal. Dengan hela nafas yang cukup berat aku pun berucap,
“aku ikut senang buat kamu, cal”
“dia juga belum yakin sepenuhnya padaku al...tapi aku sedang berusaha, dan tampaknya dia juga mau berusaha untukku..oh ya, aku juga sering cerita tentang kamu..dia kagum sekali sama tulisan kamu, dan sangat senang bisa berkenalan”
Aku kemudian mengangguk pelan. Tak terasa kami sudah menghabiskan waktu hingga hampir tengah malam ditempat itu. Melepaskan segala rasa, mengobrol, bercerita, memastikan tidak ada yang berubah diantara hubungan persahabatan kita.
“eh dia ga marah kamu tinggalin?dan kita sekarang ini ga dicariin?”
“tenang…dia ngerti kok..lagian itu juga cuma sekedar pesta, yang paling penting sahabatku ini dulu yang cuma satu satunya di dunia”
“hahaha gombal”

              Malam itu benar-benar kami nikmati dengan penuh canda dan kehangatan seperti dulu kembali. Tak ada peristiwa yang salah buatku,  setelah melewatinya aku jadi banyak belajar. Mungkin aku memang harus benar-benar mengenali diriku sendiri. Berbenah, berfikir untuk selalu maju kedepan. Supaya tak ada lagi mata yang harus jatuh kasihan. Agar tak ada lagi senja yang harus menunggu malam sendirian.

“cal?”
“hmm?”
“aku mau nulis cerpen ah abis ini”
“tentang apa?”
“ada pada suatu masa di dunia paralel sana, dimana kamulah yang lebih tergila gila kepadaku”
Ia tersenyum lebar. Begitupun diriku.

Senja dan malam.
Tak perlu lagi saling tunggu dan curiga tentang tertutupnya daun-daun pintu.
Hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama rahasia.
Jangan terkejut, memang dirimu sendirilah sebenarnya yang kau jumpa.
di pintu yang terbuka itu, kita hidup begitu sederhana.
Ikuti alirannya. Ikuti siklusnya.
Maka kamu akan berjumpa seorang pemenang didalamnya ; yaitu dirimu sendiri.


 


2 komentar:

  1. Banyak yang gua skip fan ceritanya haha
    And btw tulisannya udah mulai 'dewasa'ya hahaha

    BalasHapus
  2. Ceritanya bagus. Menyentuh. Mirip dengan apa yang aku rasakan dengan 'Cal'-ku. yang selalu hilang / pergi seenaknya, dan datang saat aku sudah mulai lupa. Entah dia sudah punya seorang Julie, atau ngga. Aku gamau tau.Gaya tulisannya bagus, realistis bahwa semuanya pasti gak bakal indah2 aja, dan 'dewasa' . Salut. bahkan akupun belum seberani itu. Tapi akhirnya aku menemukan orang yang satu pikiran dengan aku, yaitu kamu. ngga banyak teman yg ngerti cara berpikir seorang penulis/novelis. dianggap terlalu pemimpi. keep up the good work. Akhirnya, I found my match.

    BalasHapus