Happy
new year everyone!
Gue
udah cukup lama ga nulis lagi karna sibuk sama kuliah, sama jualan cikbum, sama
jadi kang foto amatiran hahaha...
its
been a loooooooong time, dan gue kangen banget ngayal lagi! hahah,
jadi
mulailah gue menggarap cerita ini yang alurnya cukup sering gue ganti.. ya
dibilang cerbung kependekan, dibilang cerpen kepanjangan...terserah deh mau
dibilangnya apa..yang jelas, nikmatin aja ya..
perlu
diketahui juga, gue membuat cerita ini pure ngarang, sedikit observasi. jadi
kalau misalnya ada tempat-atau hal-hal yang salah dimaklumin aja yaa haha
enjooooy!!!!!
SENJA DAN MALAM.
Aku
sedang melahap nikmat salah satu novel Jane Austin yang berjudul ‘sense and
sensibility’ sambil duduk bersandar pada rak-rak buku lama di salah satu
toko yang letaknya di pinggiran kota. Bangunannya mungkin tampak rapuh, tembok
dan ubinnya tak lagi seputih susu, kaca jendela juga beberapa meja dan kursi
baca reot tak jarang kutemukan berdebu, lengkap dengan papan nama tua
bertuliskan “D’boekenwinkel”
yang nampaknya belum pernah diganti sejak puluhan tahun lalu.
Tempat ini dikenalkan padaku lebih dari
sewindu lalu…Aku masih ingat rasanya waktu pertama kali masuk tempat ini,
terasa sangat familiar seperti aku sering berada disini pada dimensi waktu yang
berbeda.
Bau khas lembaran buku-buku usang,
jalan sempit pada tiap jeda rak yang terlihat menarik untuk dikulik dan
disinggahi, koleksi buku buku cetakan lama-nya yang lebih lengkap
daripada toko lain, mungkin merupakan alasan tepat mengapa aku bisa habiskan
waktu ku berjam-jam ditempat ini. Orang yang mengenalkanku pada toko ini dulu,
kerap kali berpromosi jika di d’boekenwinkel juga diberikan jasa peminjaman
buku dan diizinkan untuk bisa membaca langsung ditempat.
Sudah hampir 30 menit aku sibuk
membolak balik halaman, ketika mataku menyisir kutipan kalimat demi kalimat,
dan sampailah aku pada sebuah bagian :
“I
could not be happy with a man whose taste did not in every point coincide with
my own. He must enter in all my feelings; the same books, the same music must
charm us both”
Mataku sempat terpaku, tak mau lepas
dari kutip yang menyudahi kalimat itu.
Memoriku terperosot jatuh, ingat akan
sesuatu. Seseorang. Dia.
Dia yang tak ternilai,
Yang melihatnya bagaikan pantulan tak
berbias. Yang didekatnya seperti merasakan cucuran keindahan bintang bintang di
langit tak berbatas. Yang berawalan dari sang Alfa.
Anthony.
Anthony calix
lengkapnya. Orang-orang memanggilnya anton atau tony, tapi aku lebih suka
memanggilnya cal tanpa alasan tertentu. Cal terdengar sederhana, se-sederhana
awal perjumpaan kita..
Aku pun belum mau beranjak dari akhir kutip buku itu. Aku tersenyum getir,
ingat akan Cal yang senang berbicara tentang semesta. Dulu, jika kami sedang
travelling ke bukit atau gunung, momen yang kami sebut ‘nge-rumput’ ; (terlentang beralaskan rumput sambil memandangi bintang
dan langit malam) adalah momen wajib jika hujan sedang tidak berselera
datang. Bahkan di hari-hari biasa, kami sering menghabiskan waktu di rooftop
rumah nya yang senantiasa jadi markas kegiatan tak penting ini.
Namun, ia selalu tampak berbinar jika berbicara tentang perjalanan milyaran
tahun cahaya untuk bisa menembus dalamnya kosmos galaksi.. atau, mengoceh
sambil terkagum kagum dengan peristiwa-peristiwa supernova, yang meski cahaya
ledakannya sudah melewati bumi ratusan tahun lalu namun ceceran debu dan gas
nya masih bisa dilacak diluar sana.. atau bahkan, secara spontan membeberkan
tentang teori ‘the
simulation argument’ yang selalu ia amini keberadaannya..
“kita tuh hampir pasti tinggal dalam
sebuah simulasi komputer tau….kayak film the matrix!”
tegasnya yang kala itu sedang berbaring memandangi malam disebelahku, diatap
rumahnya, beralaskan karpet kotak-kotak tipis dan ditemani sebotol juice jeruk
ekstrak.
“ha ha!..another theory from the
greatest mr.calix” kataku menggodanya, sambil sibuk mengeker teleskop
binocular kecil milik cal.
waktu itu aku sedang mencoba tantangan
darinya, yaitu menemukan rasi bintang Crux yang bentuknya mirip
layang-layang di langit selatan.
“hahaha, serius al…gimana kalo kita
sebenarnya adalah rangkaian angka dalam sebuah komputer. Gimana kalo kita hanya
simulasi numerik.. dan.. dan jika suatu saat kita bisa mengetahui sifat dari
keberadaan kita, apakah kita kemudian akan mencari cara untuk berkomunikasi
dengan peradaban yang menciptakan kita, si empunya komputer?menemukan sesuatu
Yang Maha Besar itu?” ocehnya semakin menggebu.
Acuh, aku malah sibuk dengan
teropongku.
“ckck must be hard to find,cal…By the
way, ini acrux dan gacrux bukan sih? Aku bingung ngebedainnya
…redup banget”
“mana sini liat?
Hm..hm…tetottttt!salah! itumah cha alpha, cha beta… kamu gagal”
jawabnya terlihat asal
“Chamaeleon? Kok jauh
amat..Ayodong cal...aku ga bodoh-bodoh amat deh kayaknya” Tuturku teramat
ragu.
Ia
terdiam beberapa detik. Lalu melanjutkan..
Bukan.
bukan untuk menyamakan presepsi tentang rasi, melainkan untuk kembali meracau
dengan pikirannya sendiri..
“Coba
deh al kamu pikirin…siapa pun yang membuat simulasi alam semesta kita ini,
mungkin juga telah menciptakan alam semesta yang lainnya, dan mungkin kita
harus berusaha berkomunikasi dengan mereka. The question is…Dapatkah kita
berkomunikasi dengan mahluk hidup di semesta lain jika mereka berada di
platform yang sama?another paralel universe? Or maybe, the extraterestrial?
Kayak Hawking dan Carl theory’
Kali itu aku yang hanya bisa melongo.
Memperhatikan mata hitam bulatnya yang bercahaya, berkedap kedip, selalu penuh
semangat ketika berbicara tentang semua yang terdengar tak masuk akal dan
diluar batas semesta. Harus aku akui, aku telah berkali kali jatuh pada mata
itu, pada sosok itu. Dan berkali juga aku berdoa, semoga kejatuhanku ini tak
membawa serta kehancuran untukku.
“hey al…”
“al…”
“alexa arsyila… hoiiiii!!!”
Teriakannya cukup keras di kupingku,
hingga aku sadar pada waktu itu aku hanya diam memandangi wajahnya yang berjarak
kira kira 15 centi dariku, melamun jauh entah kemana. Malu, aku pun cepat cepat
berkilah,
“Haa? Kenapa? Ehmm sory sory aku tadi
rada ngantuk jadi ga fokus deh..hm..udah deh ah ngomongnya, makin lama kamu
makin kedengeran gesrek..si carming yang jatuh cinta sama misteri alam
semesta..”
“hahaha sialan…eh baru juga jam 10..
biasanya sampe tengah malem kamu kuat, kamu mau aku anterin pulang al? makan
dulu yuk, mama masak roti pita sama lasagna ala ala greek gitu.. apa ya
namanya, moussaka kalo ga salah” ajak cal yang setengah bangun dari
posisi telentangnya.
Sambil ikut bangun dan mencoba berdiri,
aku pun meng iyakan tawaran cal sambil lalu berucap, “ayook ayoook! asikk makan
gratis”
Cal sering bercerita tentang keluarganya. Ia berasal dari keluarga yang sangat
mencintai ilmu pengetahuan, dan mengagungkan peradaban masa silam. Ibunya
seorang arkeolog yang pernah menetap untuk studinya di Yunani. Ayahnya seorang
peniliti yang sering melakukan proyek sekuensing DNA mahluk hidup. Ia ceritakan, kedua
orangtuanya merupakan penggemar mitologi greek beserta kerajaan olympusnya.
Karna itu, anak semata wayangnya itu dinamakan Anthony calix yang
artinya ‘yang tampan; tak ternilai’.
Bicara tentang tampan, secara fisik cal bukan hanya mewakili arti dari namanya
itu. Melainkan bisa ku katakan bahwa pastilah berbagai macam bumbu bumbu
rahasia telah ditambahkan sewaktu penciptaan cal dimulai dulu. Bukan hanya
tampan dengan rambut hitam cepak yang berpadu padan dengan mata hitam pekat yang
bulat,..namun semua hal pada cal tampak senada, sebuah harmoni yang pas dengan
struktur tubuh dan segala kharisma yang dimilikinya.
Ya, cal selalu punya itu…’sesuatu’ yang
membuatnya tampak istimewa, megah, layaknya huruf dengan caps lock dan
border di awal paragraf baru.
Awal paragraf aku dengan dia dimulai di tempat kami berkuliah dulu. Disalah
satu perguruan negri terkemuka, tepatnya ketika pesta inagurasi mahasiswa baru
di akhir tahun pertama. Cal dan aku sama-sama mahasiswa semester 2 pada waktu
itu, namun dengan subjek dan kasta yang berbeda.
Cal adalah mahasiswa FMIPA, yang
kemudian menjuruskan dirinya pada Fisika kuantum dan teori
astronomi. Sementara aku masuk Fakultas Kebumian, yang dijuruskan ke
dalam bidang Teknik metalurgi. Seperti yang telah kukatakan, cal termasuk
junior yang cukup termasyur dan namanya cukup dikenal seantero kampus waktu
itu.
Teman-temannya populer, ia rajin ikut
kegiatan ekstrakulikuler kampus seperti pecinta alam dan himpunan
astronomi amatir kampus yang kebanyakan berisi anak-anak orang kaya. Namanya
tercatat sebagai peserta termuda olimpiade fisika nasional yang mewakili kampus
secara berkala, dan banyak ku dengar berita bahwa dia telah digadang-gadang
juga diincar beberapa keorganisasian mahasiswa yang ingin merekrut kader-kader
baru berpotensi seperti cal.
Sementara aku adalah si
gadis biasa.
Dan si gadis biasa ini sialnya punya teman sekamar asrama yang bawel dan manja
nya minta ampun, yang seakan-sangat-butuh-pengakuan-dalam pergaulan-,
namanya Nina. Ya, meski jarak rumah dan kampusku tak terlalu jauh, namun sistem
dikampusku menerapkan seluruh mahasiswanya harus menetap di asrama kecuali pada
weekend atau hari libur. Nina merengek-rengek padaku agar aku ikut pesta
inagurasi yang akan diadakan di salah satu café&bar dekat kampus. Ia ingin
aku pergi, katanya agar aku tau dunia lain selain kamar asrama yang bau busuk
ini, dan aku sangat perlu keluar sesekali agar aku bisa bersosialisasi dengan
teman seangkatan lain yang berbeda jurusan. Namun, menurutku alasan utama nina
sebenarnya ialah ia sangat membutuhkanku agar aku bisa dijadikan pengingat nya,
sebagai batu baterai cadangannya, sebagai orang yang akan menjadi penunjuk
jalannya jikalau nanti malam ia kebanyakan minum dan tak bisa pulang ke asrama
ini lagi dengan selamat.
Aku akhirnya pergi dengan Nina ke café&bar yang bernama la vanille itu. Letaknya dekat dengan danau,
dihubungkan dengan jembatan besar yang dihiasi lampu-lampu kuning bulat yang
mencolok di tiap sisinya.
Begitu sampai, nina langsung mengajakku
berkeliling. Tidak butuh waktu lama, ia dengan mudah menemukan teman-teman
se-Perguruannya. Sibuk membicarakan si ini dan si anu. Mendadak jadi fashion
police yang seakan sedang live report, menjudge bagus atau buruk dandanan
tiap orang yang datang. Namun sedihnya, mereka hanya bisa menatap iri
jika melihat rombongan para selebritis kampus yang populer dan lebih rupawan.
Tetapi ada satu pengecualian. Ada satu yang tampak berbeda. Ada Satu diantara
para selebritis kampus itu, yang sepertinya sangat dikagumi oleh Nina dan
teman-temannya.
“yang pake kemeja kotak dan kaos
nyantai, diri deket meja bar itu loh al.. dia itu sefakultas sama
gue..ganteng banget kan? namanya tony..dia tuh paling berkharisma dan orangnya
ramah bgt al, ga kayak yang lainnya..inceran cewe-cewe MIPA bgt lah pokoknya”
Jelas Nina kepadaku sambil sedikit
menunjuk ke arah laki-laki yang dimaksud.
“oooh” jawabku, sama sekali tak
tertarik.
Ada pada saat aku benar-benar muak. Benar-benar mati kutu sepertinya waktu itu.
Dengan tempat yang penuh sesak, musik yang terlalu bising, asap rokok, bau
alcohol yang terlalu sengak, obrolan mengenai ‘orang lain’ yang membosankan,
dan yang paling buruk adalah…aku merasa sama sekali bukan bagian dari pesta.
Aku pun menghambur ke luar, aku bilang
pada nina butuh udara. Ingin rasanya aku balik pulang ke asrama, namun rasanya
tak adil jika aku meninggalkan nina hanya karna aku tidak tahan pada diriku
sendiri yang tak bisa bersosialisasi dan melebur dengan baik di acara itu.
Kaki ku pun terus berjalan sambil menapaki jejeran kayu milik jembatan besar
penghubung antara la vanille dan danau kecil hijau di sisi lainnya,
meski banyak muda-mudi mencuri curi kesempatan untuk bermesraan di pinggiran
jembatan, dapat ku akui bahwa sorotan lampu kuning terang yang sedang
dikerubungi beberapa laron kala itu menggelitik ku untuk tidak cepat berpaling
dari tempat itu. Aku pun berhenti sejenak, menikmati pantulan air danau yang
tenang sambil mengintip langit malam yang ajaibnya juga seperti sedang
tersenyum cerah hari itu.
“kenapa kok keluar dari bar? cari apa
disini?” sapa seorang laki-laki yang tiba-tiba mengisi tempat disebelahku,
berdiri canggung, ingin tau, namun terlihat tak tergesa-gesa.
Aku menoleh pelan, lalu menjawab,
“itu bukan tempat dimana
seharusnya aku berada. Itu..hm.. bukan aku.
bu-kan-a-ku-ba-nget.”
“lalu buat apa susah susah datang
kesini?” muncul pertanyaan lainnya menyembul dari bibir sang laki-laki yang sedang
asik meneguk sebotol soft drink.
Aku pun tertawa kecil, kemudian
melanjutkan,
“ha ha.. hanya ingin membuktikan
bahwa teori ku memang benar. Aku bukan seperti orang-orang yang disana. Tidak
perlu berpura-pura menjadi mereka”
Ia kemudian tertawa. Warna bibirnya
semakin terlihat mengkilap waktu ia tertawa.
Lalu aku yang balik bertanya,
“kamu kenapa keluar?”
“sama sepertimu. Sepertinya disana
bukan tempatku” jawabnya.
Pertanyaan yang sama kemudian aku
lemparkan lagi,
“lalu kenapa susah susah datang kesini?”
Ia diam. Lalu hanya membalasku dengan
senyum simpulnya.
“iseng mungkin, membunuh waktu,
terhipnotis ajakan teman, ya semacam itulah.....anyway, hey coba liat itu”
jawabnya santai sembari menunjuk kearah langit, kearah bulan.
Kemudian ia melanjutkan, “fase
dimana bulan terletak dibelakang bumi, jika ditinjau dari matahari...panggilan
sayangnya ialah si purnama…biasanya siklus nya 29.5 hari dan
ditanggal tanggal segini nih 14,15 akan terlihat paling bagus...paling
bulat..dan malam ini…fiuhh berkilau sekali…like a diamond in the sky”
Aku kemudian bersuara, “cycles of the
lunar phases…cant agree more..its so damn beautiful”
“yep”
“namaku Anthony calix. Orang-orang
panggil aku Tony atau Anton..terserah deh mau panggil apa”
“kalo calix nya gapernah ada yang
panggil?haha, yaudah aku panggilnya cal aja deh, boleh? oiya Aku al..alexa
arsyila tepatnya”
Masih mengamati kecantikan dari sang
bulannya malam itu, ia pun menyimpulkan
“hem..cal dan al…ya..ya…boleh juga”
Itulah kali pertama aku bertemu cal. Jujur, ia tak seperti yang aku bayangkan
sebelumnya. Bisa kukatakan bahwa benar, ia memang berbeda.
Lantas sejak itu, urusanku dengan cal
tidak kelar begitu saja, seperti masih ada buntut yang panjang. Seolah ia
selalu berada dalam zona bermainku, seolah aku selalu begitu saja tak sengaja
berada di lingkaran orbitnya. Selalu saja, seperti telah ditakdirkan…selalu ada
pertemuan yang tak terduga.
Seperti saat aku bertemu dengannya di salah satu bukit tercantik kota yang
letaknya di kawasan konservasi hutan hujan tropis, yakni Bukit Aster.
Bukit aster merupakan salah satu bukit dengan vegetasi dan pemandangan terbaik.
Jalanan keatas puncak bukit ini harus melalui hutan yang didominasi oleh pepohonan besar
berlayer. Seperti pohon kanopi, pinus, tanaman-tanaman epifit seperti anggrek
hutan, lumut, paku-pakuan dan bahkan di sekitar puncak bukit, jika tiba musim
tertentu seluruh lapisan bukitnya akan ditumbuhi oleh bunga-bunga aster dari berbagai jenis, Sekilas bukit itu akan
terlihat seperti hamparan permadani berwarna warni.
Bukit aster memang merupakan destinasi utama ku untuk menghabiskan akhir pekan
pada waktu itu. Kala itu aku sedang bersama dengan beberapa kawan-kawan klub
pecinta alam SMA ku dulu. Sewaktu SMA aku memang salah satu anggota pecinta
alam yang paling gemar hunting sunset. Namun begitu kuliah, aku enggan ikut
kelompok pecinta alam kampus lagi. Selera ‘mengikuti kegiatan nonakademis’
seketika luntur dariku semenjak duduk di bangku perkuliahan. Mungkin karna
belum menemukan kecocokan.
Secara tidak sengaja, di puncak bukit
aster pada sore hari itu, aku bertemu lagi dengan cal yang waktu itu sedang
mengadakan acara ‘star party’ bersama kawan-kawan
himpunan astronom amatirnya.
“al?”
“loh cal?”
“berapa besar probabilitasnya aku bisa
bertemu kamu di tempat ini? bahkan dikampus pun, aku jarang sekali liat kamu
lewat hahaha” tanya cal yang kala itu baru saja tiba diatas bukit, sambil
terlihat membawa peralatan teleskop, matras, dan beberapa keperluan perbintangannya.
“nol persen. Kamu ngapain disini, cal?”
Ia hanya mengangkat bahu, dan
menunjukkan peralatan teleskop refraktor nya, yang belakangan baru aku tau kalau
teleskop itu memang khusus untuk pengamatan objek-objek planetari.
“oh..ya ya..i remember you..the lunar boy”
Cal pun tertawa kecil, ia menjelaskan
“kebetulan star party di kelompok kecil aku ini dimajuin al, alasannya karna
menurut kalender astronomi, hari ini bakalan ada hujan meteor Geminid yang diperkirakan ada 120 meteor
per jam yang terlihat nantinya. Sekalian kita juga mau ngamatin mars sama
Jupiter yang ikut terlihat malam ini.. nah terus kamu sendiri ngapain disini?”
Pertanyaan cal sore itu, aku jawab dengan menunjuk gumpalan warna langit yang ikut
berpendar kuning, merah, jingga, goresan-goresan pastel indah yang menyertai
momen tenggelamnya sang ratu. Momen yang berlangsung hanya dalam hitungan
menit, yang berhasil mengakrabkan bahkan mengawinkan siang dan malam. Momen
yang selalu memberikan rasa damai bagi ia yang tak pernah luput
memperhatikannya menghilang dibalik kaki langit.
Lalu aku pun gantian menjelaskan,
“Aku kangen sama senja..dulu aku sering
hunting senja terbagus sama temen-temenku. Tapi mungkin karna satu dan lain
hal, kegiatan melegakan ini bisa jadi sangat langka buatku. Mumpung sekarang
aku lagi reunian kecil-kecilan sama klub pecinta alam SMA ku dulu…”
Seketika cal pun bertanya,
“Pecinta alam? Kenapa ga gabung yang
ada di kampus juga?kita bisa berpetualang dan cari senja bareng kalo gitu al”
“mungkin…hm…nanti kali ya cal..aku
kurang akrab sama anak-anak dikampus”
“Hm..begitu ya, Oh ya al..setelah senja
ini, apa kamu langsung mau pulang sama temen-temenmu?”
“ya sepertinya begitu”
“would you stay here for a few hours maybe?I’ll
show you something” pinta cal sambil mulai membongkar peralatan teleskopnya.
Dan ia pun menambahkan “tenang…akan aku
antar pulang dengan selamat”.
Saat itu jujur aku memang masih ingin bersama cal, penasaran akan pesona malam
yang selalu ia agung-agungkan. Aku pun izin pulang belakangan dengan
teman-temanku, sebelum bergabung dengan cal dan kelima teman-temannya(semuanya
laki laki) yang sedang asyik merakit teleskop, dan memilah milah letak terbaik
untuk memindai langit pada malam hari. Begitu malam tiba, teleskop-teleskop
mulai di hadapkan ke langit luas. Kilatan-kilatan hujan meteor satu persatu
mulai terlihat dengan mata telanjang, dan bahkan lebih jelas terlihat lagi jika
menggunakan teleskop.
Cal tidak seperti yang lain, iya membawaku menjauh dari teleskop-teleskop. Ia
mengajakku berbaring menghadap langit yang dipenuhi dengan benda-benda angkasa
yang berkilauan, disampingnya, diatas matras yang telah ia gelar. Cal
mengeluarkan ipodnya, dan meletakkan headphones nya di salah satu lubang
telingaku. Samar-samar terdengar alunan lagu yang tak asing untukku..
“Fly
me to the moon
And Let me play among the stars
Let me see what spring is like
On Jupiter and Mars”
And Let me play among the stars
Let me see what spring is like
On Jupiter and Mars”
Lantas aku langsung berpaling kepada
cal yang mulutnya terlihat komat-kamit mengikuti lirik dari lagu Frank
Sinatra tersebut.
“ini salah satu lagu kesukaanku cal”
ucapku kepadanya
Cal pun bereaksi, “pas banget dong… aku
suka banget al, liat langit malam yang sedang sesumbar kayak sekarang ini..
yang kalau digambarkan sebagai wanita...dia itu wanita yang eksotis,sexy dan
penuh dengan misteri…”
Ia pun menambahkan dengan ikut
bernyanyi, “Fill my heart with song and let me sing forever more…You are all
I long for all I worship and adore”
“dan kamu telah jatuh cinta..cinta
mati matian sama apa yang ada di langit sana” kataku menaggapi
“cinta sekaligus merasa terintimidasi
al..”
“loh kenapa?” tanyaku penasaran
“Kita selalu merasa bahwa kita mahluk
paling canggih dan sempurna, raja di muka bumi ini. Kita hanya tau apa yang
kita punya di bumi, selalu merasa besar, tamak, sombong, tapi kita tak
pernah benar-benar tau apa yang ada diluar planet kita ini, kita tak
pernah sadar bahwa kita sebagai manusia hanyalah mahluk paling buruk. Kita cuma
jago kandang. ”
Aku terdiam, masih mendengarkan
luapan pikiran cal.
“Dan kenyataannya, aku merasa bahwa
kita ini kecil. Amat kecil. Aku merasa terintimidasi oleh langit. Bayangkan,
peradaban kita harus menempuh ratusan milyar tahun cahaya untuk bisa
melihat seberapa besar galaksi-galaksi di alam semesta. Sebagai contoh, bagi
manusia, bumi itu sudah tampak besar tapi bumi yang besar ini ternyata belum
ada apa-apanya. Matahari, yakni bintang yang terdekat dengan bumi itu
bisa menampung 1 juta bumi di dalamnya. Dan ternyata si matahari ini hanya satu
dari milyaran bintang yang membentuk galaksi kita yang bernama Bima Sakti. Yang
lebih menarik lagi, bima sakti hanya satu galaksi dari 40 galaksi dalam sebuah
kelompok yang terdiri dari galaksi-galaksi dekat, atau galaksi lokal. Mungkin ada
ratusan, ribuan, bahkan jutaan galaksi tersebar diluar sana. Mungkin juga ada
alam semesta lain, semesta paralel…Kita itu cuma serupa debu…sesuatu yang
besar, amat besar tersebar di luar sana..kita tak pernah tau, tapi salahkah aku
jika aku selalu ingin tau, debu-debu ini sedang bertandang kerumah siapa”
Aku pun menjawab,
“ya…aku ngerti kok…Tapi perasaan kecil
yang kamu rasakan ini cuma akan selalu membuatmu kecil.. begini gampangnya,
entah kenapa aku selalu merasa diriku ini cuma satu diantara jutaan,miyaran,triliunan
apapun itu yang ada diluar sana. Aku bukan jiplakan, aku bukan mahluk hasil
renkarnasi, dan diantara semua semesta baik itu tunggal, seri, ataupun paralel
ini..aku ya cuma satu. Bayangkan, betapa ‘debu yang
amat sangat penting’ aku ini..dan aku tau, hal yang lebih besar telah
mengizinkan ‘si debu penting ini’
bertandang ke rumahnya.. betapa memang harus ada rasa rendah diri dan syukur
atas semua keindahan ini..meski sayang, mungkin kita hanya berputar-putar di
suatu ruangan, kebingungan.. sebelum ada pemecahannya, maka yang bisa kita
rasakan sekarang persis seperti akhir lagu sinatra ini… In other words, please be
true…In
other words, I love you
wahai tuan si pemilik rumah Yang Maha Besar”
Cal tertawa mendengar pernyataanku.
Ia lalu berkata,
“al”
“ya?”
“kamu cewek pertama yang mau ngerumput
sama aku malem-malem kayak gini.. kamu juga cewek pertama yang aku kenalkan
dengan dunia favoritku.. we should talk like this next time, we should be best
buddy after this”
Malam itu aku tau, bahwa memang ada hal lain mengenai presepsiku tentang cal.
Wajahnya yang lembut, matanya yang hitam, isi dalam kepalanya yang seakan tak
mau diam, membuat sosok cal berkelebatan di pikiranku sejak saat itu, membuat
hatiku dihujani ribuan meteor ketika menatapnya. Entah mengapa cal
menjadi seolah lebih terang, menyilaukan daripada semua bintang yang aku lihat
malam itu.
Jika cal telah jatuh cinta dengan
langit, maka pastilah langit telah mengoper rasa itu kepadaku. Kali itu, aku
telah melesat jauh, jauh mengitari semua nebula-nebula dan dimensi semesta..
lalu dengan cepat, secepat cahaya...begitu saja aku bisa jatuh. Bukannya takut,
namun aku menikmatinya. Karna aku jatuh untuk orang yang benar aku kagumi.
Jatuh untuk Cal.
Sejak saat itu, cal dan aku resmi menjadi sahabat yang lengketnya melibihi lem
aibon sekalipun. Banyak hal berubah semenjak aku dekat dengan cal. Dikampus,
aku bukan lagi orang yang malas bergaul. Aku diajak dan langsung direkrut masuk
ke klub pecinta alam, pada jam-jam tertentu cal akan membawaku ikut makan siang
dengan rombongan teman-temannya, Jika ada acara seru cal selalu menyeret ku
untuk turut serta di dalamnya. Dulu teman-temanku dikampus sangat terbatas bisa
aku hitung dengan jari, itupun hanya disekitaran fakultasku. Tapi sekarang,
mendadak orang-orang di kampus mulai mengenal namaku, mulai sadar bahwa aku ini
tidak ‘invisible’, mulai menyukai ku karna
mereka baru tahu kalau aku juga tak kalah asik dan berpengetahuan luas.
Namun seiring bertambahnya teman, bertambah pula haters dan orang-orang yang
iri kepadaku, terutama ialah para perempuan pengagum cal yang sepertinya telah
diam diam berdoa sejak lama agar bisa dekat dengan cal. Aku mungkin dianggap menjadi
kecoa penghalang. Salah satunya Nina, yang sehari tiga kali,seperti minum obat
bertanya berbagai macam hal tentang cal. Dan betapa ia akan memberikan apapun
kepadaku, untuk bisa jadi ‘the secret agent’
untuknya, mata-mata tentang semua urusan pribadi nya Cal. Jelas aku menolaknya.
Menurut pengamatanku sendiri, cal juga bukanlah orang yang mati rasa. Ia sadar,
ia telah menjadi sosok yang diperhatikan banyak orang, terutama perempuan.
Namun ia juga bukan orang yang mudah ditebak isi hatinya. Yang aku tau, cal
memang tak pernah mengacuhkan orang lain. Ia selalu menjadi pria ramah, sopan,
berusaha mengingat semua nama orang-orang yang dikenalnya baik, maupun
yang tidak terlalu ia kenal. Tetapi cal, selalu menjadi cal. Ia selalu menjadi
rumah dengan pintu yang selalu terkunci. Semua orang dipersilahkan masuk
sampai halaman depan, tapi tak pernah diizinkan tau ada apa dibalik pintu itu.
Beruntungnya aku ialah, banyak hal yang bisa dengan mudah cal ceritakan
kepadaku. Hal-hal yang ia bilang, tak pernah ia ceritakan kepada orang
lain sebelumnya. Aku juga begitu kepadanya. Aku bercerita banyak tentang
hal-hal pribadiku. Tentang aku yang merupakan anak satu-satunya, tentang
keluargaku, tentang seorang sosok idola dalam hidupku yaitu ayahku.
Ayahku dulunya juga menyukai hal-hal mengenai benda langit dalam bentuk dongeng
masa kecil dengan dihiasi oleh cerita-ceritanya yang magis tentang angkasa
luas. Ia lulusan sastra yang berkerja menjadi dosen biasa, sedangkan ibuku hanya
pegawai sipil pemerintahan. Aku ini termasuk golongan mahluk pemimpi, bermimpi
menjadi penerus ayahku untuk bisa hidup senang dengan berbekal keindahan sastra
yang selalu mengilhami seluruh kepercayaan ayahku selama ini. Ayahku itu
seperti hidup di dunia yang bukan berasaskan realitas. Aku gemar sekali
menulis, bercerita, melahap semua buku sejak usia muda. Namun, rupanya
segala mimpi itu harus karam ditengah jalan.
Sejak akhir masa SMA, ayahku itu divonis mengidap penyakit Delirium.
Derilium adalah keadaan konfusional akut , yang gejalanya yaitu sulit
berkonsentrasi, mengalami disorientasi waktu dan tempat, delusi dan halusinasi
tak karuan. Sejak saat itu ekonomi keluarga ku memburuk karna ayahku butuh
biaya besar, butuh pengasuh dari rumah sakit, dan butuh berobat jalan. Ayah
yang tadinya adalah pedoman hidupku, medadak menjadi orang yang sama sekali tak
bisa kukenali dan tak bisa kunikmati imaji nya lagi. Target kuliahku pun
berganti 180 derajat, ibuku tak mengizinkanku masuk jurusan sasta. Ia
menginginkanku bisa menjadi orang yang finansialnya kuat, yang bisa membangun
keluarga ku lagi menjadi utuh seperti dulu, jadilah aku berakhir di jurusan
yang sekarang aku erami, jadilah aku menjadi orang yang nantinya akan mengeruk
kekayaan alam bumiku yang indah ini. Mungkin karna hal itu, aku menjadi orang
yang mulai menyebalkan, yang menarik diri dari lingkungan. Api yang dulunya
menyala nyala di mataku, sekarang seolah padam disapu air hujan. Ayah yang
dulunya idolaku , sekarang bak lilin rapuh yang telah disulap menjadi asap.
Dan ketika seluruh cerita hidupku selesai dikisahkan, cal bukannya ikut sedih
atau bermuram durja bersamaku, cal berkata bahwa ia justru iri kepadaku. Ia iri
pada si manusia penuh mimpi. Disaat satu-satunya hal yang dipercayai manusia
modern abad ini adalah angka, aku masih bisa percaya kekuatan lain yang
bertajuk imajinasi. Ketika keanehan deret fibonachi
menjadi perdebatan diantara para ilmuan dan arkeolog zaman ini, mungkin aku tak
akan mempermasalahkannya selagi aku masih bisa merubah deret fibonachi menjadi
sesuatu yang menari-menari di pikiranku. Dan cal, memang selalu menjadi cal. Ia
selalu menjadi si-pembesar-hati. Cal selalu berhasil membuatku merasa tetap
menjadi orang paling satu-satunya di muka bumi ini.
Cal tak pernah menyarankanku untuk mematikan semua mimpi itu. Ia tetap berada
disampingku, walaupun mungkin saja peranku tak berarti banyak di kehidupannya.
Namun entah mengapa, seperti menjejak kembaran matahari yang telah lama hilang,
aku merasa telah diciptakan oleh unsur-unsur kimiawi yang sama dengan cal. Aku
menemukan matahariku pada cal. Kami cocok akan berbagai hal. Selera film,
musik, pandangan akan waktu, masa lalu, masa depan, tentang segala misteri dan
hal magis, tentang cara lebih mengenal diri sendiri sebagaimana kita mengenal
alam di sekitar kita, hobi dan kebencian tentang menghabiskan waktu di mall,
dan masih banyak lagi yang tak bisa ku gambarkan. Cal juga termasuk daftar
orang favoritku karna bisa menghabiskan berjam-jam melahap deretan huruf di
toko buku. Ia mengenalkanku pada berbagai macam hal, termasuk dengan toko buku
tua yang sangat cocok untuk kantong mahasiswa kering seperti aku ini. Ya, D’boekenwinkel.
…………………………………….........xxxxx……………………………………………………
Akupun beranjak dari sepenggal kalimat yang ada di novel ini, cuplikan demi
cuplikan kejadian masa lalu akan cal terus saja muncul di ruang antar otakku.
Lalu aku berlanjut ke halaman lainnya,
berusaha fokus, melupakan cal sejenak. Namun beberapa kata dalam novel ini,
entah bagaimana terus saja menjadi pemicu ingatanku kembali kepada laki-laki
yang dulu aku sayangi itu.
“Life could do nothing for her, beyond
giving time for a better preparation for death.”
Kali ini, memoriku kembali terbang
jauh. Tepat di masa aku dan cal harus terus melanjutkan hidup kami
masing-masing. Memilih, Memutuskan, Mengambil pilihan yang tepat.
Setelah 3 tahun aku dan cal menjalin persahabatan, melakukan hampir setiap hal
bersama, tiba-tiba saja aku merasa disadarkan bahwa aku masih hidup di dunia
yang bernama realita.
Kami lulus bersama di tahun ke-empat
kuliah, satu bulan sebelum hari kelulusan, cal ternyata mendapatkan beasiswa
dari Cambridge University
untuk bisa melanjutkan program magister dalam studi Astrophysics. Ia mendapatkannya dari essay
yang rajin ia kirimkan ke beberapa program beasiswa lokal maupun internasional.
Lagipula tak heran karna selain sering ikut olimpiade fisika, cal juga termasuk
beberapa orang yang lulus sarjana dengan berpredikat cumlaude di kampusku. Itu
artinya, setelah hari kelulusan cal akan resmi menetap di Inggris. Jujur, kabar
itu bagaikan sambaran petir untukku.
Aku selalu senang dan bangga dengan semua prestasi dan pencapaian cal, namun
untuk kali ini aku tidak siap untuk berpisah jarak dengannya. Selain itu, ada
rasa iri yang besar terhadapnya. Ia selalu dengan mudah mendapatkan apa yang
orang lain impi-impikan. Sementara untuk seorang aku, aku seperti berada di
persimpangan. Setelah aku lulus, secara otomatis aku akan menyandang gelar
insinyur. Namun hatiku tetap ingin kembali ke seni menulis. Tetapi aku sadar
bahwa ada beban berat yang harus aku tanggung, aku harus segera membantu
keluargaku berbenah agar keadaan ekonomi kami tak lagi porak-poranda. Mungkin
bagi cal gampang saja memilih meneruskan studi di subjek yang ia sukai atau
memulai menjadi sarjana yang berstatus sebagai seorang pekerja. Lain hal nya
denganku. Aku harus melepaskan hal-hal yang aku sukai, aku harus mengubur
mimpi-mimpiku.
Setelah hari wisuda berakhir, tak sampai seminggu cal sudah harus pergi ke
Cambridge. Program Magisternya akan segera menyusul dengan terlebih dahulu ia
harus mengikuti matrikulasi beberapa minggu. Entah kenapa, kepergian cal
menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan untukku.
Aku tak henti menangis semalam suntuk, tidak menjawab puluhan telfon dan pesan
singkatnya, enggan datang pada hari keberangkatannya. Terdengar sangat
kekanak-kanakan mungkin….tapi aku tau, cal pun pasti sadar bahwa ia telah sangat
mengecewakan aku karna pergi begitu saja ber mil-mil jauhnya, meninggalkan aku
yang selama ini sangatlah bergantung kepadanya.
Belum kering air mataku menangisi kepergian cal, tak beberapa lama, kepergian
lainnya pun seketika menyusul. Selang seminggu keberangkatan cal, ayahku juga
ikut pergi. Namun bedanya, ia tak akan pernah
kembali lagi. Kekuatan ayahku telah mencapai batasnya, delirium yang
beberapa tahun sudah berhasil menggrogoti kehidupannya seakan sudah mengeluarkan
jurus terbaiknya. Delirium yang ayahku derita memang sangat menyeramkan.
Penyakit itu terus menerus mengguncang, membolak balikan otak dan pikiran
ayahku.
Sewaktu tahun-tahun pertama ia
menderita penyakit itu, aku benar-benar ikut merasa tersiksa melihatnya. Ayahku
sering sekali mengalami halusinasi, delusi,
mimpi-mimpi yang mengerikan yang tak bisa ia bedakan apakah itu
sungguhan atau tidak.
“Ketika aku menutup mataku aku akan merasa
dinding-dinding di sekitarku lumer seperti es yang mencair..namun bukan seperti
warna es, tapi sesuatu yang hitam pekat. Yang tumpah mengenai tubuku.. entah
kenapa aku merasa tubuhku ini mati rasa..seketika dinding yang lumer itu
merayapi seluruh badan ku dari kaki hingga kepala. Dan aku sadar bahwa si hitam
pekat ini seperti coro dalam jumlah ribuan. Ia masuk lewat hidung, kuping,
mulut, menggigiti seluruh pembuluh darahku sampai darahku muncrat
kemana-mana..ini seperti nyata, aku tak bohong”
Seperti itulah tuturnya waktu penyakit
ini baru-baru muncul dan terdeteksi.
Aku tak sampai hati melihat wajahnya yang pucat, ketakutan, seperti dihantui
oleh sesuatu tiap ia bangun dari tidurnya. Ia selalu terlihat kelelahan, paranoid,
entah apa yang ada dipikirannya. Tak jarang ia begitu ketakutan hingga didapati
sedang terkencing-kencing, bahkan buang air besar di celana. Karna itu, ayahku
menanggung derita yang luar biasa. Aku bisa melihat kesakitan nya yang
terpancar dari matanya. Semenjak ayahku sakit, aku tak bisa lagi berkomunikasi
dengannya secara fasih. Ia menghabiskan sisa harinya dikamar, ditopang oleh
infus berisi cairan. Obat penenang menjadi senjata andalan, juga pispot yang
selalu berada tak jauh dari tempatnya tidur. Delirium itu memakan otak ayahku
perlahan, hingga akhirnya terciptalah infeksi disana-sana seiring dengan
bertumbuhnya benalu itu. Dan disinilah seharusnya aku lega, karna akhirnya
ayahku tidak akan merasa kesakitan lagi. Namun, ayahku itu selalu jadi sosok
idolaku sejak kecil. Entah mengapa, aku seperti kehilangan dua pedoman
hidup, arah kiblatku, tempat aku berpegangan.
Cal dan ayahku, tak bisa kumaafkan
keduanya pergi meninggalkanku saat itu, di waktu yang hampir bersamaan.
Setelah kepergian ayahku, aku mengurung diri dikamar selama beberapa hari, tak
mau makan atau melakukan aktivitas lain. Entah bingung, entah sedih, atau
kecewa seluruh perasaan itu tumpah ruwah berkoloni menjadi satu dan foila!
terciptalah perang dunia yang luar biasa berkecamuk di dalam hatiku. Pikiranku
stuck, stress berat.
Keadaan itu membuat ibuku sangat
khawatir, ia mencari beberapa cara membujukku keluar namun ia pun sadar
semuanya hanya akan sia sia. Ia pun kehabisan akal, dan terpaksa menggunakan
jurus terakhirnya…yaitu meminta bantuan cal.
Entah bagaimana ceritanya, cal kembali lagi ke Indonesia. Khusus untukku. Ia
sangat khawatir dengan keadaanku, ingin mencari berbagai penghiburan untukku.
Namun sayap sayapku terlanjur patah, aku pun tak bergeming walau sebenarnya aku
sedikit senang karna tak menyangka bahwa cal seperhatian itu kepadaku,
sampai mau meninggalkan kuliahnya dulu dan kembali ke Indonesia hanya
untuk menengok keadaanku.
Tapi cal pun tak semudah itu dapat
menyembuhkan luka hatiku begitu saja. Hingga akhirnya ia kehabisan akal, dan
mulai mencetuskan ide-ide gilanya.
Ia ingin aku ikut ke Inggris beberapa
hari. Ia janji akan menanggung segala biaya plus menjaga diriku sepenuhnya.
Katanya sebagai hadiah liburan untukku. Tadinya aku enggan, namun karna bujukan
semua orang termasuk ibukku, akupun akhirnya mengiyakan ajakannya.
Aku pergi dengan cal ke Cambridge dengan
pesawat ke London yang mendarat di bandara Heathrow dengan terlebih dulu
transit di Abu Dhabi. Dari London kami naik bis antar kota untuk bisa sampai ke
Cambridge yang berjarak kurang lebih 90 km dari kota London. Cal mengajakku
menginap sementara di Brooklands guest house yang letaknya di Cherry Hinton Road,
karna ia bilang sungkan untuk membawaku serta ke tempat ia belajar sekaligus
tinggal di King’s collage.
Ia memesan satu kamar kecil berisi satu
kasur yang terkesan sangat privat. Selama perjalanan yang memakan waktu
berbelas jam itu, cal dan aku tak banyak mengeluarkan kata. Baru setelah sampai
di kamar dan bersiap untuk tidur, kami kembali luber dalam suatu perbincangan
yang singkat.
“gapapa kan ya al kita tidur satu
kasur? Uangku lagi seret nih al maaf ya”
“santai aja” balasku singkat
Cal pun ikut terlentang denganku di
kasur yang sama, berbaring disebelahnya aku kemudian berbisik pelan,
“kamu jadi repot..maaf ya cal”
“kamu jangan sedih lagi” balasnya pelan
Aku pun tak sadar telah meneteskan
beberapa bulir air mata.
“tuhkan..sendu terus..besok kita jalan
jalan ya” ucapnya manis
“iyaa” jawabku singkat sambil mengelap
sisa bulir air di pelipis mata.
Keesokan paginya cal mengajakku mengitari kota Cambridge dengan sepeda pinjaman
. Yang menarik adalah kotanya sangat sepi dan santai apalagi bertepatan dengan
musim gugur dimana jalanan nya dipenuhi daun mapple
berwarna merah dan kuning bertebaran. Cal menggunakan student cardnya sebagai
free pass untuk dapat membawaku masuk ke beberapa bangunan Universitas
Cambridge yang tersebar di berbagai sudut kota. Dapat kuakui, beberapa bangunan
sangat indah dan mirip seperti yang ada di kartu pos, khas dengan gaya gothic
abad pertengahan.
Cal membawaku mengitari sepertiga kota dengan berlayar memakai perahu kecil
diatas river cam yang melintasi mathematical bridge.
Jembatan yang menjadi ikon kota itu katanya didesain sendiri oleh Sir Isaac
Newton. Tak heran konstruksinya kusut dan rumit seperti rumus matematika.
Cal banyak menjelaskan berbagai hal
kepadaku mengenai bangunan, Sejarah dan keunikan 31
collage yang ada di Cambridge. Namun aku lebih banyak diam, dengan
seksama mendengarkan cal seakan ia sang pemandu wisataku.
Dari cam river, cal mengenalkanku pada Fitzwilliam
Museum yang berisi banyak barang seni, artefak bahkan manuskrip iluminati.
Lalu selepas siang dengan menaiki double decker bus, ia membawaku ke
Massachusetts Avenue , tempat salah satu toko piringan hitam yang bernama Weirdo Records berada.
“kamu harus cek yang satu ini al…The
name says it all. Weirdo Records has a huge selection of weird CDs and
vinyl. It's such a refreshing experience, some album that's really going to be
different and cool”
Tuturnya kepadaku sebelum masuk membuka
pintu masuk toko tersebut.
Toko music itu ukurannya tak begitu
besar, namun sangat padat dengan dekorasi yang cukup aneh,berwarna warni untuk
ukuran sebuah toko kaset.
Aku mengamati beberapa cover album vynil yang terpajang tak ber-urutan. Ada
yang menamai diri mereka ‘Fat Creeps’
dengan cover merah dan beberapa gaya foto box tersusun tak wajar, cover
selanjutnya dua orang negro dengan gaya rapi yang sama, dan tangan yang
telungkup seperti orang minta-minta menamai diri mereka 'Bob&Genes'. Ada juga beberapa kumpulan
hewan kelinci dan bebek menusuk boneka salju hingga berdarah-darah berjudul ‘it just got weird : winter are fallen’. Ada draculla music cabinet, Afreaka waka waka demon fuzz,
skinny bones dj, bahasa antah berantah yang ditato di payudara
seorang wanita 80an, ada pula gambar perempuan telanjang sedang asyik
menghisap sisha bertuliskan ‘in an Egyptian
garden’ .
Seakan semua orang yang membuat rekaman
itu telah gila, dan entah kenapa aku jadi ingin sekali tertawa melihat
koleksi-koleksi aneh itu.
Cal yang melihatku terhibur pun ikut
mengembangkan senyum di bibirnya.
Kemudian ia bertanya kepadaku,
“eh al mau ikut denger vinyl pilihanku
ini ga di ruang pemutaran? Ini beberapa yang normal yang juga dijual disini.. marilyn mccoo sama
billy davis yang nyanyi”
“okey, boleh”
Ruang pemutaran piringan hitam itu
cenderung sempit. Hanya seukuran warung telepon dengan tembok berwallpaper
bunga-bunga biru. Sejenak, lagu itu pun berkumandang
‘Baby
come as you are with just your heart…And I'll take you in
You're rejected and hurt….To me you're worth what you have within
Now I don't need no superstar…..Cause I'll accept you as you are
You won't be denied cause I'm satisfied….With the love that you can inspire
You don't have to be a star, baby, to be in my show’
You're rejected and hurt….To me you're worth what you have within
Now I don't need no superstar…..Cause I'll accept you as you are
You won't be denied cause I'm satisfied….With the love that you can inspire
You don't have to be a star, baby, to be in my show’
Aku sadar betul lirik lagu itu
ditunjukkan kepadaku, aku menoleh ke arah cal. Ia lalu tersenyum dan ikut
bernyanyi
‘Somebody nobody knows could steal the tune…That you want to
hear
So stop your running around cause now you've found…What was cloudy is clear
There'll be no cheering from the crowd…Just two hearts beating out loud
There'll be no parades, no tv or stage….Only me till your dying day
You don't have to be a star, baby, to be in my show’
So stop your running around cause now you've found…What was cloudy is clear
There'll be no cheering from the crowd…Just two hearts beating out loud
There'll be no parades, no tv or stage….Only me till your dying day
You don't have to be a star, baby, to be in my show’
Sejurus
kemudian ia mengelus rambutku yang tergerai sebahu. Aku kembali menangis, dan
bilang kepadanya,
“aku
mau jadi gila aja cal kayak orang-orang di album itu..mereka kayak ga ada beban
hidupnya”
Ia
hanya mengangguk dan berkata “well, lets go crazy then!”
Setelah lagu itu selesai diputar, cal menantang aku untuk balapan makan es krim
dengannya di JP liks ice cream. Kami memesan
ukuran jumbo dengan tiga scopes berbeda rasa, harus dihabiskan dalam waktu
kurang dari 5 menit. Aku fix kalah sekaligus menderita brainfrezze. Kemudian
kami membeli hotdog di perjalanan kembali ke king street.
Cal menginstruksikan agar kami turun di
king street dan jalan kaki menuju Park Parade yang ada di ujung Jesus Green. Kami tiba di park parade sekitar
pukul 5 sore, disana sedang ada semacam pasar malam lengkap dengan mainan
ekstremnya.
Bianglala biasanya jadi favoritku, namun cal menantangku naik roller
coaster yang bergambar red devils di depannya dengan sama sekali tidak
berpegangan tangan. Kami taruhan, yang paling lama berhasil lepas tangan berhak
ditraktir minum sepuasnya di Brew House.
Kami pun sepakat. Kami memulainya dengan menaikki roller coaster paling depan,
mencoba tak berpegangan pada besi-besi yang tampak rapuh dan goyah. Kami
berayun pelan untuk kemudian diputar, diguncang, dibolak balik belasan meter
diatas tanah. Masih berusaha bertaruh, aku menguatkan diri, mencoba bertahan ,
melepaskan segala hingga lega dengan berteriak sekencang kencangnya di kereta
yang bernama setan merah itu.
Aku pun kalah lagi dalam pertaruhan
itu. Cal lah yang berhasil tak berpegangan pada apapun dari awal hingga akhir
permainan.
Setelah aku dan cal bermain,
berkeliling dan menikmati lampu-lampu cantik yang ada di parade itu, barulah
aku menepati janji untuk mentraktir cal di bar king street yaitu brew house.
Cal memesan beer satu pitcher dan segelas bourbon. Ia tau bahwa aku tak pernah minum
sebelumnya, tapi ia membujukku untuk mau mencoba nya sedikit saja.
Aku pun tak banyak pikir dan langsung
saja minum sisa beer dari gelas cal. Ternyata rasanya tak terlalu buruk,
sejurus kemudian aku menuangkannya lagi ke gelas milik cal lalu langsung
menegaknya seperti minum es teh manis jika sedang kehausan. Cal pun tertawa
melihatku terlalu bersemangat.
“yaampun al pelan pelan..hahaha”
Aku juga mencoba wiski bourbon sedikit
dari cal, rasanya lebih aneh dan sama sekali tak ada manis-manisnya di
lidahku. Entah bagaimana, kami minum dengan bersemangat sekali malam itu. Beer
yang kami beli satu pitcher pun habis begitu saja, padahal waktu kuliah dulu
aku benci bau minuman beralkohol. Kepalaku sudah cukup pusing waktu itu.
“cal...ini berlebihan gak sih?”
“nyoba itu gaada salahnya..apalagi kalo
ternyata
suka…you.are.leaving.your.comfort.zone.alexa.bzzzzt.welcome.to.the.world”
jawab cal sambil menirukan suara ala robot yang seperti baru terkena setrum.
“eh iya ini aku yang bayar ya” ucapnya
lagi sesaat kemudian
“loh kok gitu?kan aku yang kalah
taruan” tanyaku heran
“aku yang bayar untuk keberanian kamu
mencoba okey? By the way, ayo kita akhiri hari ini dengan sesuatu yang
menyegarkan”
“ngapain tuh?kita ga ada agenda ngeliat
bintang?” tanyaku penasaran
“kali ini ngeliat tubuh sexy nya michael angelo, yuk kita caw!”
Sesuatu yang tampaknya sangat aneh sedang direncanakan oleh cal karna sepanjang
jalan dari bar ke tempat yang ia tuju itu, cal terus saja cengengesan dan
bertanya apakah aku merasa kedinginan dengan cuaca malam itu.
Kami berjalan santai melewati jesus
green tanpa sadar bahwa kala itu sudah sangat malam, dan suasana sangat sepi.
Beberapa menit kemudian kita sampai di sebuah pagar tinggi terkunci, yang
bertuliskan ‘jesus green swimming pool closed’.
“cal kita mau ngapain sih?”
“berenang”
“hah? Tutup gitu ga liat?”
“katanya mau gila gilaan..manjat dong,
yuk”
Cal membantuku untuk bisa masuk ke dalam kolam renang, lalu kemudian ia
memanjat belakangan. Suasana di kolam renang umum itu sepi sekali, tak ada yang
menjaga dan lampunya pun beberapa sudah tak lagi menerangi kolam. Cal tiba-tiba
langsung membuka seluruh pakaiannya, hanya bersisa celana dalam saja. Sejurus kemudian
ia lompat ke dalam air tanpa berkata apapun terlebih dahulu denganku. Aku
kaget sekaligus heran.
Seiring dengan bunyi air yang
berkecipakan, ia berteriak kearahku,
“al oiii…sini deeeh asik banget al
sumpah…aku tunjukin kamu sesuatu al”
“lha terus aku gimana?pake daleman
aja?kan dingin”
“cobain dulu…come on, ga akan nyesel”
Aku pun berfikir lama. Perlahan lahan melepaskan baju, celana, tank top, bahkan
bra yang aku kenakan, hanya menyisakan celana dalam saja. Dengan segera..sambil
menutupi kedua dadaku, aku langsung menceburkan diri ke dalam air.
Cal membantuku menuju ketengah kolam.
Ia melihatku dengan tak henti hentinya tersenyum lebar.
“sini deh liat ke langit al..dari
sini bagus banget kan. Lebih hidup lagi kalau kita liat pantulannya sambil
nyelam ke bawah air..walaupun cuma sesaat tapi refleksinya hebat”
Cal lalu membenamkan dirinya ke dalam
air, lalu iya muncul lagi di permukaan. Ia tersenyum tipis kepadaku, lalu aku
pun berkata singkat dan ketus
“jangan ngintip!”
Ia hanya tertawa. Lalu berucap “iya
tuan putri”
Lalu giliran aku yang membenamkan
diriku ke dalam air. Sampai beberapa kali hingga mataku pedih. Cal yang berada
disampingku menyarankan sesuatu kepadaku
“al..keluarin aja, di bawah sana kamu
bisa teriak teriak sesukamu, kamu bisa luapin kemarahan kamu..tanpa ada yang
bisa protes”
“kenapa kamu ngomong gitu?”
“karena kamu masih belum terlihat puas”
Aku merasa tertohok oleh kata-kata itu. Aku memang belum meluapkan apa-apa
semenjak kepergian ayahku. Aku belum pernah bercerita tentang segela keresahan
dan keluh kesahku kepada cal. Mataku pun tiba-tiba basah, dihujani bulir bulir
kesedihan yang turun serupa badai dari ujung mataku. Sambil masih terisak,
sontak saja aku merasa muak dan ingin segera memuntahkan semua hal yang aku
rasakan..
“aku bingung cal…aku benci selamat
tinggal. aku mau berkarir sendiri dengan tulisan-tulisanku dan gamau mengubur
satu-satunya passion dalam hidupku…tapi aku bingung, hutang-hutang keluargaku
menumpuk…aku takut…kamu, ayah, satu-satu pergi ninggalin aku...dan kenapa ayah
pergi dengan kesakitan yang luar biasa itu cal..ga meninggalkan ruang buat
memoriku sama dia dulu..ayah pergi tanpa mengingat aku…apa itu ga menyakitkan
juga untukku...kenapa, kenapa hidup gabisa berbuat adil..kenapa hidup gabisa
ngelakuin apa-apa untuk aku, selain menggertak dan menakutiku seperti ini”
Seakan air mataku terjun hebat melebur
bersama ribuan molekul kaporit yang mengapung-apung santai di permukaan kolam.
Dadaku sesak dan berkecamuk, dingin yang kurasakan malam itu tak berarti
apa-apa dibandingkan keinginan besarku untuk berteriak, bersiap untuk meledak.
Cal tak berkata apa-apa, ia hanya mendekatiku dengan tatapannya yang nanar dan
seperti ingin ikut bergabung merasakan juga derita yang tengah aku rasakan. Ia
kemudian memelukku di dalam air itu, menghapus air mataku perlahan.
Aku diam sama sekali tak berkutik,
sadar jika kulit kita bergesekan, dekapannya terasa besar mampu meraup seluruh
tubuhku yang sedang tak berbusana waktu itu.
Detik selanjutnya, aku sudah bisa
merasakan hangat bibirnya yang mendarat halus di permukaan bibirku. Cal
menciumku dengan sangat pelan, dan hati-hati. Ia memegangi kedua pipiku
seakan aku manusia yang terbuat dari porcelain. Sambil memejamkan kedua
matanya, lambat laun ia terus mengulum bibirku yang basah. Basah karna air
kolam yang tercampur dengan air mata. Menghasilkan rasa asin, manis, padat dan
intim. Ia berhasil membuatku tenggelam dalam perasaan lega. Lega yang luar
biasa.
Setelah cukup lama bibir kami
bertautan, ia membuka matanya dan berbisik kepadaku pelan,
“Please al...aku sayang sama kamu,
kamu tau kan Cambridge itu juga impianku. Newton
dengan semua gravitasinya, Rutherford yang
berhasil misahin atom ditempat ini, Hawking with
his expanding universe theory. Aku ingin jadi orang-orang hebat itu, tapi
gimana bisa aku ninggalin kamu nantinya dengan keadaan seperti ini..”
Aku terdiam, lalu bertanya dengan
sedikit ragu “kamu beneran sayang sama aku?”
“Always. Jangan pernah lupa, kamu itu
satu-satunya, wanita hebat, harus bisa berdiri sendiri..keep moving forward..
hidup ini memang ga pernah adil dipandang dari sisi manapun. Dari sejak
penciptaan bumi dimulai kita selaku mahluk hidup selalu ditakdirkan
beradaptasi, berevolusi. Apapun keadaannya, kita harus kuat. Jika ini terasa
seperti neraka buat kita, mari kita nikmati neraka ini bersama-sama… kamu
cantik al, please jangan nangis lagi ”
Cal sukses memotivasi diriku malam itu.
Tanpa banyak kata, kali itu aku langsung mencium bibirnya yang berjarak
hanya lima centi dari bibirku. Dengan pintu terbuka, ia menerimanya. Menerimaku
sebagai supernova nya yang sedang berusaha mengumpulkan sisa-sisa debu dan gas
untuk dapat bersinar kembali.
Malam itu kami kembali ke guest house tempat kami menginap. Entah apa yang
terjadi namun semenjak kejadian di kolam renang itu, sepertinya hasrat kami
antara satu sama lain begitu saja memuncak. Sampai dikamar, kami pun
melanjutkan ciuman kami yang terputus sejak di kolam renang. Kali ini mungkin
sedikit tergesa gesa dan dibumbui nafsu. Dari posisi berdiri hingga diatas
kasur dimana aku duduk diatas pangkuan cal, ciuman itu semakin menjadi-jadi.
Kami beralih ke pangkal kuping, leher, bahkan dada. Sibuk menggigit dan mengecup.
Cal mulai melucuti pakaiannku, begitupun aku bergantian melucuti pakaiannya.
Hingga tak ada sehelai benang pun menutupi tubuh kami berdua. Cal punya badan
yang tidak terlalu berotot namun tak teralu kurus, yang menurutku sangat pas
untuk ukuran laki-laki. Cal pun tampak takjub begitu melihat seluruh lekuk
tubuhku yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Kami bercinta
malam itu. Karna sama-sama baru pertama kali, kami melakukannya dengan lembut
dan pelan. Namun bagiku tetap terasa indah. Cal sangatlah hebat, kami tenggelam
bersama sama di lautan penuh kenikmatan. Bagaikan mendapati aku berada didalam
dirinya, dan ia berada didalam diriku. Seperti tinta dalam air ataupun
sebaliknya.
Keesokan harinya kami bangun kesiangan dengan tubuh lelah namun perasaan yang
puas dan lega. Cal masih terus memelukku dari belakang, ia menciumi rambut dan
pundakku. Aku tak pernah menyangka cal akan berlaku seolah ia juga telah jatuh
kepadaku. Seakan cuma aku seseorang yang bisa membuka pintu yang terkunci dalam
dirinya. Diperbolehkan tau ada apa didalamnya.
Hari-hari selanjutnya, kami habiskan dengan mengujungi Folk
museum yang unik. Naik ke atas menara gereja
great st.mary untuk menikmati pemandangan seluruh penjuru kota juga
langit yang indah. Bersepeda santai di sekitaran st
john collage dan bridge of sighs,
juga tak lupa mampir ke botanic garden.
Melihat peradaban Artic dan Antartika di Scott
Polar Research Institute. Menemani cal mencari berbagai reverensi di Cambridge public library. Makan malam di restoran
kontemporer luar biasa yang arsitekturnya dipadu padankan dengan pub klasik
bernama ‘the cambridge’. Dan banyak hal lagi
yang kami lakukan bersama di kota pelajar itu.
3 hari yang aku habiskan bersama cal
pun terasa sangat singkat. Cal tidak bisa berlama-lama menemaniku karna ia
harus segera mengejar kuliah untuk penyusunan disertasinya nanti, untuk bisa
mendapatkan gelar MSc (Master of Science) yang sangat ia damba
dambakan. Pada hari terakhir, aku diantar oleh cal hingga ke bandara Heathrow
London. Sulit bagiku untuk kembali lagi ke dunia nyata, aku ingin tetap
menjejak mimpi bersamanya.
Aku pun berpesan kepadanya,
“cal, usahakan kalau lagi ga sibuk,
kirim surat atau telfon ya”
Ia hanya menjawab “iya al”
Kemudian aku berucap lagi “I just want
you to stay…this time, don’t let me go”
Ia hanya tersenyum tipis dan berkata “I
wont”.
……………………………………............xxxxxxxxxxxxxxxx…………………………………………
Hari itu menjadi hari terakhir aku bertemu dengan cal. Kami terpaut
waktu,benua, dan kesibukan masing-masing. Pada bulan-bulan pertama cal masih
sering menelfon atau mengirimi ku surat, kami bercerita tentang banyak hal.
Termasuk tentang bagaimana kelanjutan hidupku di Indonesia.
Aku resmi menjadi seorang insinyur di
salah satu perusahaan tambang swasta, gajinya lumayan besar untuk bisa membayar
hutang keluargaku. Jam kerjanya sangat ekstrem, tapi aku menemukan cara untuk
bisa menyempatkan sedikit waktu untuk tetap menulis cerita demi cerita.
Seringkali aku rindu pada cal, namun seperti kata-katanya, aku harus kuat dulu
untuk bisa berdiri sendiri tak tergantung oleh kehadiran orang lain sebagai
penopangku.
Hingga tiba hari dimana ia tak lagi pernah mengabariku. Nomor telfonnya tak
aktif, sepeti ingin menghindar. Aku sungkan jika harus bertanya kepada mama
atau papa nya cal, jadi aku hanya menunggu dan terus menunggu.
Surat terakhir yang ia kimirkan
kepadaku berisi tentang informasi bahwa aku diizinkan menjadi penulis tetap
untuk mengisi kolom cerpen suatu koran nasional tiap
akhir pekan dengan honor yang lumayan.
Cal lah yang mendaftarkan ku ke redaksi koran tersebut, ia mengirimkan beberapa
karya tulis lengkap dengan biodataku. Cerpen dan karya tulisku diapresiasi
besar dan mendapat pujian dari sang kepala redaksi. Hal itu tentu sangat
mengejutkan sekaligus menggembirakan untukku, seperti mendapat durian runtuh.
Entah mengapa, cal selalu saja berhasil menjadi si pembesar hati dan si prince
carming yang dermawan untukku. Cal memang selalu menjadi cal. Ia seperti
bongkahan lem yang sedang berusaha merapihkan satu persatu pecahan kaca yang
berserakan di lantai rumahku.
Disuratnya yang terakhir cal bertutur,
“Sesuatu yang bukan hanya hampa dalam diammu
Namun riuh dan manis kukecap dalam bahagiamu
Mungkin bukan hanya bulan, bahkan alam semesta
Ikut berfluktuasi tak tentu arah, terjebak, lalu buyar
Jika tau seberapa besar potensi pada dirimu
Jangan takut..aku akan selalu ada… mengorbit didekatmu
Mengamatimu…mendoakanmu..
Jangan merasa kecil jika sekarang cahaya bulan lebih terang
dari dirimu
Merekalah pantulan semangatmu
Aku akan selalu ada…mengorbit didekatmu..
Sampai suatu saat, kamu berhenti percaya bahwa aku pernah
ada.
SELAMAT YA ALEXA…I’m proud of you...
doakan juga aku bisa benar-benar mewujudkan mimpiku”
Setelah itu cal benar-benar tak pernah menghubungiku lagi. Kami benar-benar
hilang kontak.
Sungguh menyakitkan bagiku jika
mengingat lagi memori-memoriku tentangnya dulu. Namun semua itu begitu saja
berlalu, berlangsung dalam keadaan hampa, hingga 5 tahun setelahnya aku tak
pernah mendengar kabar lagi darinya.
Tapi jika boleh jujur, hatiku sampai
saat ini belum bisa berganti. Aku kira dulu, aku telah berhasil menjadi kunci
untuk membuka pintu pada cal yang tertutup itu, aku kira ia juga menyimpan
perasaan yang sama denganku. Aku masih menginginkan malam yang sama, walaupun
ia tidak lagi ada dalam genggamanku. Inilah hal yang aku sadari betul namun
paling ku takutkan sekaligus aku benci dari dulu.
Bahwa, perasaan ku pada cal
menetap. Bahwa, perasaannya kepadaku hanya sementara.
…………………………………………..xxxxxxxxx………………………………………………
Aku pun menutup lembaran novel karya jane austin tersebut. Membaca di
d’boekenwinkel malah tambah mengingatkan atmosfer keberadaan kami berdua
dulu. Beberapa hari ini aku memang terus menerus kepikiran akan cal. Memang
sudah lama sekali aku tidak bertemu sekaligus berkomunikasi dengannya, kurang
lebih 5 tahun. Namun aku masih punya perasaan yang sama yang diam-diam tak
pernah mau aku hapus, meski aku tau mungkin akan sulit juga untuk menyimpannya.
Dari kabar yang aku tau, cal telah lulus untuk program magister nya dan
mendapat gelar MSc, ia masih menetap di inggris untuk meneruskan program doctoral
nya. Sambil menyusun research proposal dan list of publications
nya, dia mengajar jadi dosen tambahan di kampusnya mengambil subjek ‘Hukum gravitasi yang berlaku dalam mekanisme lubang
hitam’, ya semacam itulah. Semua kabar itu aku dengar dari orangtua
nya cal, namun aku tak pernah sampai hati untuk mau menghubunginya lagi
duluan.
Cal selama ini seperti tak mau terlacak
olehku, ia seakan mau menghilangkan jejaknya dariku, sengaja tak pernah mau
menjawab telfon dan pesanku. Entah apa yang salah, apa yang ia rasakan,
sudahkan ia benar-benar muak denganku hingga tak pernah mau berhubungan
denganku lagi…
Cal….selalukah ia menjadi sebegini
terkunci…
Dan tepat 3 hari yang lalu, mama nya cal menelfon kerumahku. Ia bilang 5 hari
lagi cal akan wisuda untuk gelar doktoralnya.
Mama nya mengajakku turut serta untuk datang ke Cambridge bersama-sama
dengannya. Terakhir ia bilang jika cal lah menyuruhnya untuk menghubungiku,
mengundangku datang di acara paling bersejarahnya itu. Meski kaget, aku masih
sedikit ragu dan aku bilang untuk pikir-pikir dulu apakah aku ada pekerjaan
atau tidak untuk 5 hari kedepan itu.
Sebenarnya aku sedang dapat giliran
off kerja hingga 2 minggu kedepan, dan kesibukan ku menulis untuk
rubrik-rubrik di koran maupun majalah pun sedang tidak terlalu mendesak atau
sedang tidak dikejar deadline. Namun aku ragu, siapkah diriku untuk bertemu cal
lagi? Siapkah aku ketika masih ada serpihan-serpihan harapan mengenai
hubunganku dengannya nanti? Siapkah hatiku ini untuk benar-benar jatuh menuju
kehancuran, bertransformasi menjadi meteor yang kepanasan dan
sendirian..Siapkah?
Aku tau mestinya aku tidak menjadi pengecut, banyak pertanyaan dibenakku yang
menuntut jawaban dari cal. Jawaban dan kepastian mengenai semua yang pernah
kita rasakan, terutama yang aku rasakan. Aku pun mengambil sebuah keputusan.
Aku harus pergi ke Cambridge besok dan hadir pada perayaan wisudanya lusa.
Sejurus kemudian, aku pun keluar dari toko buku D’boekenwinkel ,
segera bergegas pulang kerumah untuk persiapanku menuju kota itu lagi,
Cambridge.
Aku ke Cambridge tidak bersama-sama dengan mama atau papanya cal. Aku menyusul
sendirian pagi-pagi sekali, dengan pesawat yang dijadwal sampai di bandara
heathrow menjelang sore harinya. Lalu ku teruskan dengan naik kereta ke
Cambridge sebelum akhirnya sampai penginapan untuk menaruh barang-barangku
terlebih dahulu. Aku menginap di du vin
hotel&bistro yang letaknya di Trumpington
Street , tak jauh dari kampusnya cal. Acara wisuda cal berlangsung di Senate House, tak jauh dari kings collage. Namun
aku melewatkannya, karna acaranya sudah selesai sejak sore hari.
Tetapi orangtua cal mengabariku bahwa aku masih belum ketinggalan untuk hadir
di acara perayaan wisudanya malam ini, mereka akan turut mengundang kerabat
juga teman-temannya cal. Mereka sudah membooking satu dining room, meja bar di
Browns
Bar & Brasserie
yang letaknya hanya beberapa blok dari hotel tempat aku menginap.
Aku pun segera bersiap siap untuk
menghadiri acara itu dengan memilih memakai setelan seamed
dress berwarna cream, dan black ankle boots with zip. Bertemu lagi
setelah 5 tahun menghilang bukan perkara mudah untukku. Untuk itu aku resah
untuk menata ulang tatanan rambut juga dandanan ku. Aku ingin tampak sederhana
namun terkesan berbeda ketika bertemu dengannya lagi nanti.
Pukul 8 malam aku pun bergegas ke restoran itu dengan berjalan kaki lewat
beberapa gang saja. Jujur, aku sangat amat berdebar, menyiapkan kata-kata
apa yang akan aku ucapkan nantinya.
Begitu sampai, aku pun cukup terkejut
karna ternyata suasana di tempat dining room yang dibooking oleh cal cukup
ramai. Aku pun melangkah masuk dengan perlahan. Di meja dekat sudut jendela aku
melihat mama dan papanya cal yang sedang asik berbincang yang nampaknya dengan
salah satu kerabat keluarga mereka.
Meja-meja lainnya kebanyakan diisi oleh
orang-orang sebaya dengan orang tua cal. Aku lalu mengedarkan mataku ke segala
penjuru ruangan, dan disitulah aku dapati ia duduk di kursi besar biru,
dikelilingi oleh teman-teman kuliahnya. Ia masih tampak sama, rambutnya
terlihat agak panjang, mata hitam bulatnya masih berpendar mempesona seperti
yang dulu, bibirnya keliatan semakin merah serasi berpadu dengan kulitnya yang
kuning langsat.
Ia menikmati makanan dipiringnya, sambil sesekali bercanda dengan para kawan
dan rekanannya . Lalu disitu pula aku sadari, bahwa memang benar ia sudah punya
kehidupan sendiri disini. Disamping ia duduk, terlihat seorang
perempuan putih, berambut lurus panjang, berwajah agak sedikit mandarin,
wanita itu terus memperhatikan dan mengirimkan sorot mata yang teduh, tertarik,
kagum, dan jatuh. Aku tau persis tatapan itu. Tatapan orang yang sedang
dirundung asmara.
Sejurus kemudian aku melihat si
perempuan itu dihujani kecupan di tangan dan di pipi.
Aku tau sekarang. Aku tau. Aku yakin.
Inilah hari H itu, hari besar, kepastian akan kehancuran hatiku.
“al ? alexa arsyila? “ suara itu
memanggilku. Ia tampak kaget sekali melihatku
Aku juga tak bisa begitu saja
menyembunyikan keterkejutan atas apa yang aku liat barusan. Aku pun masih
berdiri tertegun dan terdiam.
“yaampun al kamu dateng juga
ternyata..si..sini al mari duduk”
Suara itu bergetar dan bingung, namun
tetap mengajakku bergabung dengannya. Aku belum bisa berkata apa-apa, sama-sama
bingung. Namun aku sadar bahwa banyak orang yang sedang memperhatikanku saat
itu, aku pun berusaha bersikap normal.
“ha..hay.. selamat ya doktor anthony calix” ucapku juga sedikit
terbata-bata.
Aku pun mengambil kursi disebelah cal,
yang berhadapan dengan wanita yang diciumnyal tadi. Spontan, aku pun terus
memperhatikannnya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Cal sadar akan kekikukan suasana yang
tiba-tiba tercipta itu. ia langsung mengambil inisiatif tanpa pikir panjang.
“al, ini kenalkan namanya Julie. Dia
orang Indonesia juga yang sedang mengambil studi s2 nya tentang art disini”
Si wanita itu pun senatiasa menjulurkan
tangannya kepadaku, dibarengi dengan tanganku yang juga menyambutnya.
“kenalkan saya Julie.. kamu alexa ya?
Cal sering bercerita tentang kamu sebelumnya”
Aku cuma mengangguk pelan..namun ada
rasa jengkel tertinggal karna kudengar tadi ia juga memanggil dengan sebutan
‘Cal’ ? memanggil Anthony calix ku dengan ‘cal’? Itu adalah panggilan
kesayanganku kepadanya, dan cuma aku satu-satunya yang memanggilnya begitu
sebelumnya. Tak percaya seseorang telah membajaknya dariku.
Cal terlihat memperhatikan perubahan air mukaku. Ia tau, bahwa rautku yang
tegang dan berkerut tanda bahwa terlalu banyak hal sedang menggelayuti
pikiranku kala itu. Suasana yang awkward pun tak mudah begitu saja
mencair di meja itu. Beberapa saat setelah makan dengan hening yang lama, cal
pun mengajakku untuk keluar sejenak. Ia kemudian meminta izin untuk pamit
sebentar, membawa serta diriku yang sedang tak berselera diajak bicara.
Aku dan cal terus berjalan melalui beberapa bangunan tua, diantaranya Peterhouse dan Pembroke Collage. Cal sama sekali
tak berkata-kata, kami berjalan dalam diam melewati silver street dan queens
front. Ia membawaku ke arah river cam. Dari queens collage, kita memang bisa
melihat mathematical bridge kepunyaan Isaac newton itu dengan jelas.
Namun aku heran, apa sebenarnya tujuan
cal mengajakku ketempat itu lagi? Apa yang hendak ia bicarakan denganku?
Akhirnya kami berhenti di atas jembatan
tersebut. Aku langsung duduk bertengger diatas batang-batang kayunya, sedangkan
cal yang sejak tadi kuperhatikan hanya sibuk melihat pantulan diatas air sungai
dibawah tempat kami berpijak.
“jadi teknologi di Inggris sekarang ini
kembali lagi ke zaman batu ya? Sampai sampai buat berkomunikasi pakai surat
atau telfon aja susah” sindiranku memecah kesunyian
Cal masih terus diam tak merespon.
“gaenak banget ya rasanya
nunggu..apalagi rasanya jadi bego dan percaya…sama sebuah pengharapan palsu”
Masih belum di respon.
Membuatku semakin ingin mencecar tak
karuan.
“cewek tadi itu pacar mu ya?”
“oiya…kok dia ikut-ikutan panggil kamu
cal juga sih?”
“udah berapa kali gonta ganti pacar
disini? pantes aja betah”
“hey cal”
“CAL!”
Teriakanku cukup terdengar kencang
malam itu, hingga memaksa cal akhirnya bersuara
“kamu mengharapkan jawaban apa
sebenarnya dari aku?”
Mendengar pernyataan itu, tentu saja
volume dalam intonasi suaraku enggan aku turunkan,
“aku berhak atas semua jawaban itu!
kamu itu selalu aja membingungkan buat aku, cal…. Apa kamu ga pernah sadar,
kalo aku ini bener-bener udah jatuh cinta sama kamu”
Tak terasa mataku pun mulai basah, cal
masih saja belum terlihat mau mengeluarkan pembelaan-pembelaannya. Beberapa
tetes air mata pelan pelan jatuh, mendarat di pipi dan bibirku.
Dengan segala keberanian dan rasa
penguatan, aku pun melanjutkan bicara kepadanya
“apa kamu ga pernah sadar, kalau aku
ini sejak dulu selalu mengagumi senyumanmu diam-diam.. aku menjadi yang
terdekat denganmu selama ini, mau tak mau aku pun terus menerus mengamatimu,
mendoakanmu, menyebut kamu disetiap mimpi-mimpiku..kamu seperti virus yang
menjajahi isi pikiranku, cal..seringkali aku menangis, merindukan, menahan
sakit sendiri diam-diam jika aku ingat semua tentang dirimu.. tentang hal-hal
hebat yang terjadi diantara kita.. aku mengagumi kamu diatas apapun cal..bahkan
setelah 5 tahun kamu berusaha menghindar dariku, dalam hati ini aku
selalu memaafkanmu dan berharap punya kesempatan bisa memutar kembali
waktu..agar aku bisa merasakan seperti dulu lagi…seperti waktu pertama kali
kita bertemu, waktu kamu membuka kesempatan agar bisa mengenalmu lebih dekat
lagi”
Masih dengan mata yang berkaca-kaca aku
melanjutkan perlahan,
“aku sudah mengorbankan banyak hal
untuk kamu..termasuk harga diriku”
Cal mengusapkan tangannya yang dingin
di kedua pipiku. Ia paling benci melihat aku menangis. Dengan lirih, ia pun
berucap
“kamu kira aku ga mengorbankan banyak
hal untuk kamu juga al..”
Ia kemudian menjelaskan dengan intonasi
normal, tidak seperti aku yang menggebu-gebu tadi
“aku justru sadar betul akan hal itu
al..dari dulu, aku sudah tau kau ini terlalu meng-agung agungkan diriku..pada
kenyataannya, aku ini cuma orang biasa. Bukan anaknya zeuz
atau hasil persilangan cyclopse. Aku cuma
pintar karna belajar dari buku atau orang-orang sekitar. Justru kamulah orang
yang aku lihat punya banyak potensi. Jujur, aku mungkin bukan orang yang
gampang ditebak, aku menghidar jika mulai berbicara tentang hati dan perasaan..
sekali lagi, aku ini cuma orang biasa al. aku menikmati peranku yang seperti
ini”
Aku masih belum mengerti atas semua
penjelasan dari cal, namun rupanya ia belum selesai disitu. Ia kemudian
melanjutkan,
“aku memang suka dan nyaman ketika
berada didekatmu..kamu satu-satunya sahabatku yang selain cerdas, juga memiliki
banyak kesamaan dalam hal selera denganku. Aku juga sayang, sangat sayang kepadamu.
Tapi dalam porsi ingin melindungi kamu sebagai sahabat yang sudah kuanggap
saudaraku sendiri.. aku gamau al hal buruk terjadi kepadamu, makanya aku mau
menggembalikan semangatmu lagi waktu itu. karna nya, aku melakukan semua hal
itu kepadamu. Membawamu ke inggris, memberikan semua penghiburan untukmu,
mencarikan kamu jalan untuk tetap bisa mewujudkan mimpi kamu, apa yang kamu
mau…menyiapkan skenario terbaik…bahkan untuk berpura-pura mencintaimu,
memberikan kamu harapan…juga sangat menyakitkan rasanya untukku...Bagaimanapun
caranya harus kucoba untuk membantu kamu kembali bangkit, al..dan setelah kamu
cukup kuat untuk bisa berjinjit sendiri seperti sekarang ini..aku, kamu, kita
harus terus melanjutkan hidup kita masing-masing..membuat planning dan pilihan-pilihan
kedepan”
Masih terasa janggal, aku pun kemudian
bertanya padanya
“lalu kenapa kamu harus menghindar
seakan aku ini momok menakutkan untuk kamu? Dan kenapa ga bilang aja dari dulu
sebelum semuanya jadi rumit kayak sekarang ini?”
Ia mengeluarkan senyumannya yang tipis,
lalu menjawab
“aku ga mau terus-terusan
berpura-pura..nyakitin kamu lebih dalam dari ini..aku bukannya menghilang,
menghindar atau apalah yang kamu bilang itu..aku cuma ingin memberikan ruang
buat kita. Aku fokus sama kuliahku disini, dan kamu juga fokus sama pekerjaan
kamu di Indonesia..aku juga ingin, kamu bisa membangun kehidupan kamu yang
menyenangkan tanpa harus ada aku yang selalu membuat hati kamu teraduk aduk
setiap kamu ingat..aku sengaja membuat kamu lupa dan mati rasa, aku ingin
kamu menemukan seseorang yang lebih dari aku diluar sana al…setelah program
doctoral ini selesai pun rencananya aku ingin langsung bertemu denganmu
lagi..seperti dulu, sebagai seorang sahabat dan orang yang tepat untuk diajak
bertukar pikiran…tapi maafkan aku sekali lagi, aku tak tau bahwa perasaanmu itu
kepadaku hingga kini masih menetap”
Entah mengapa, aku seperti ingin saja
ambruk seketika itu. Tanpa pikir panjang aku pun langsung mendekap cal,
memeluknya seakan telah terlalu lama menginginkannya. Cal turut mendekapku
erat, membiarkanku puas terisak dalam genggaman dada dan lengannya.
“bukannya aku ga pernah suka sama kamu
al..kamu cukup manis, unik, cerdas, lucu, selera nya keren…aku juga sempat
merasakan hal yang kamu rasakan itu, tapi entah kenapa rasa itu ga bertahan
lama.. aku ini seorang observer al, aku terus menerus mencari dan ga
pernah puas sama sesuatu yang pasti.. sedangkan kamu itu, terlalu pasti
untukku”
Aku pun jadi ikut tersenyum getir
mendengarnya berkata begitu.
Setelah aku sudah puas menangis, meratap dan tersedu, aku mulai bisa menata
kembali tiap keping perasaanku. Memang aneh kedengarannya, walaupun setengah
hatiku sakit mendengarkan segala penjelasan yang selama ini cuma bisa aku tebak
dan kira-kira, namun setengah nya lagi ternyata lega. Tak seperti yang aku
bayangkan semula, semua hal yang dilakukan cal selama ini ternyata cukup masuk
logika. Meski jauh dari harapanku sebelumnya. Justru ia yang selama ini
memperhatikan ku diam-diam. Mencoba membantuku keluar dari lubang penjara yang
kubangun sendiri. Membuatku berfikir juga berkaca. Bahwa memang benar aku tidak
boleh terlalu larut dan tergantung pada seseorang. Aku harus kuat berdiri
dengan kaki-kakiku sendiri.
Setelahnya, kami bercerita banyak
diatas jembatan itu sambil duduk di atas konstruksi kayu tua nya. Menceritakan
tentang hal-hal apa saja yang terjadi di kehidupan kami berdua masing-masing.
Tentang cerita-cerita yang kami lewatkan selama 5 tahun berlalu dan tak jumpa.
“kamu tau kenapa aku ngajak kamu
ngobrol disini al?”
“iya..kenapa sih?”
“soalnya dulu, ditempat ini waktu kita
main puting melewati river cam ini, kamu keliatan masih murung banget..disitu
juga aku janji kalo aku bakalan berusaha ngerubah kamu jadi orang yang lebih tough..gimana pun sulitnya, kayak
mathematical bridge ini..segimanapun rumitnya, pasti bakal ada pemecahannya”
Aku pun tertawa kecil “jadi sekarang
kamu setelah jadi doktor, punya bakat jadi filsuf juga ya hahaha”
“yeeh..sialan”
“eh cal, aku pengen nanya sesuatu”
“apa?”
“kenapa pada akhirnya kamu memilih si
Julie itu?”
Cal tertawa terbahak bahak. Ia lalu
meledekku
“kamu cemburu ya?hahaha..gini loh al,
aku memang suka dan sedang menjalin hubungan sama Julie sekarang..tapi, ini
pure ga ada planning apapun untuk kedepan..aku suka sama dia karna seperti yang
aku bilang tadi, aku ini seorang observer yang selalu ingin mencari, dan
menariknya dia…dia itu juga seperti sesuatu yang ga pasti. Dia ga begitu
mengagumi ku, bahkan aku yang seringkali capek ngejar-ngejar dia.. aku
gabisa nebak-nebak apa yang ada di pikirannya..dan kita berdua itu bener
bener kayak ujung kutub magnet. Sama sekali berbeda. Selera, latar belakang,
cara pandang, kesibukan..Tapi entah kenapa, justru itu yang aku cari al. Aku cinta akan adanya perbedaan. Mungkin nanti
jika aku dan dia sudah hidup lama bersama, kita ga akan pernah bosen satu sama
lain. Karna pasti banyak dinamika yang bisa ditemui disana. Mungkin
nantinya…aku akan pulang kerumah bicara tentang singularitas ataupun distorsi
ruang dan waktu, sementara dia akan sibuk memasak sambil bercerita pula tentang
lukisan aliran kubisme nya yang baru ia buat…dan kita pasti akan sama-sama
semakin penasaran antara satu sama lain..
dia itu kayak langit al..misterius,
selalu menimbulkan pertanyaan..dan membuat aku tertantang untuk bisa mencari
cari apa yang ada didalamnya.. berbeda dengan kamu yang selalu ada disitu
seperti senja yang setia menunggu si malam yang ternyata brengsek ini hahaha…
kamu sadar gak, mungkin ini memang sudah hukum semesta. Kita yang ada didalamnya
selalu saja mencintai sesuatu yang susah untuk didapatkan, mengagungkan
berbagai misteri untuk bisa dipecahkan”.
Aku terdiam selama beberapa menit.
Kepalaku seketika aku senderkan ke salah satu pundak cal. Dengan hela nafas
yang cukup berat aku pun berucap,
“aku ikut senang buat kamu, cal”
“dia juga belum yakin sepenuhnya padaku
al...tapi aku sedang berusaha, dan tampaknya dia juga mau berusaha untukku..oh
ya, aku juga sering cerita tentang kamu..dia kagum sekali sama tulisan kamu,
dan sangat senang bisa berkenalan”
Aku kemudian mengangguk pelan. Tak
terasa kami sudah menghabiskan waktu hingga hampir tengah malam ditempat itu.
Melepaskan segala rasa, mengobrol, bercerita, memastikan tidak ada yang berubah
diantara hubungan persahabatan kita.
“eh dia ga marah kamu tinggalin?dan
kita sekarang ini ga dicariin?”
“tenang…dia ngerti kok..lagian itu juga
cuma sekedar pesta, yang paling penting sahabatku ini dulu yang cuma satu
satunya di dunia”
“hahaha gombal”
Malam itu benar-benar kami nikmati dengan penuh canda dan kehangatan seperti
dulu kembali. Tak ada peristiwa yang salah buatku, setelah melewatinya
aku jadi banyak belajar. Mungkin aku memang harus benar-benar mengenali diriku
sendiri. Berbenah, berfikir untuk selalu maju kedepan. Supaya tak ada lagi mata
yang harus jatuh kasihan. Agar tak ada lagi senja yang harus menunggu
malam sendirian.
“cal?”
“hmm?”
“aku mau nulis cerpen ah abis ini”
“tentang apa?”
“ada pada suatu masa di dunia paralel
sana, dimana kamulah yang lebih tergila gila kepadaku”
Ia tersenyum lebar. Begitupun diriku.
Senja dan malam.
Tak perlu lagi saling tunggu dan curiga
tentang tertutupnya daun-daun pintu.
Hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang
bernama rahasia.
Jangan terkejut, memang dirimu sendirilah
sebenarnya yang kau jumpa.
di pintu yang terbuka itu, kita hidup begitu
sederhana.
Ikuti alirannya. Ikuti siklusnya.
Maka kamu akan berjumpa seorang pemenang
didalamnya ; yaitu dirimu sendiri.
Banyak yang gua skip fan ceritanya haha
BalasHapusAnd btw tulisannya udah mulai 'dewasa'ya hahaha
Ceritanya bagus. Menyentuh. Mirip dengan apa yang aku rasakan dengan 'Cal'-ku. yang selalu hilang / pergi seenaknya, dan datang saat aku sudah mulai lupa. Entah dia sudah punya seorang Julie, atau ngga. Aku gamau tau.Gaya tulisannya bagus, realistis bahwa semuanya pasti gak bakal indah2 aja, dan 'dewasa' . Salut. bahkan akupun belum seberani itu. Tapi akhirnya aku menemukan orang yang satu pikiran dengan aku, yaitu kamu. ngga banyak teman yg ngerti cara berpikir seorang penulis/novelis. dianggap terlalu pemimpi. keep up the good work. Akhirnya, I found my match.
BalasHapus